Powered By Blogger

Jumat, 06 Januari 2012

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI MA NAHDATUL WATAN (NW) RENSING LOMBOK TIMUR

Tugas Individu
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI MA NAHDATUL WATAN (NW) RENSING LOMBOK TIMUR
Dosen : Dr. Salman samad, M.Pd





oleh
NAMA   :          ABDUL LATIF
NIM       :          IIB02019
PRODI  :          SOSIOLOGI (I B)




PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR (PPs UNM)
2011
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
            Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, serta dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang. Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggung jawab profesional seorang pendidik, misalnya melalui siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap pembentukan tenaga pendidik yang berkualitas, yaitu dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu siswa sebagai anggota masyarakat
            Dalam kegiatan pendidikan, proses pembelajaran merupakan inti dari semua kegiatan yang dilakukan pendidik. Proses ini merupakan interaksi keseluruhan komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran yang saling berhubungan. Komponen pembelajaran tersebut adalah pendidik, siswa, tujuan yang hendak dicapai, materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga, serta evaluasi sebagai alat ukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran.
Pendekatan konstruktivisme merupakan upaya untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini berhubungan dengan masalah yang dihadapi siswa, membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial, serta kemampuan berpikir kritis. Pengetahuan bukanlah seperangkat kata-kata, konsep atau kaidah yang siap diambil, dan diingat. Namun manusia harus mengkonstruksi pengetahuannya, dan memberi makna melalui pengalaman nyata
Pendekatan konstruktivisme ini memfasilitasi siswa untuk dapat mengembangkan potensi dalam dirinya untuk berpikir kronologis, kritis analitis serta dapat memahami sejarah dengan baik, dan benar. Kemampuan mengembangkan pengetahuan, pemahaman, analisis, dan sikap serta perilaku berdasarkan pengalaman sejarah akan membantu siswa  menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya serta dapat membuat keputusan, dan mengambil hikmah dari pengalaman tersebut untuk dijadikan tolok ukur dalam bersikap, berpikir, dan bertingkah laku.
Berdasarkan analisis konseptual, dan observasi awal kondisi pembelajaran Sosiologi di MA NW Rensing Lombok Timur, ternyata tidak sedikit siswa mengalami kejenuhan dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini disebabkan pendekatan yang dipilih, dan digunakan pendidik dalam pembelajaran kurang tepat. Pembelajaran Sosiologi masih diterapkan dengan pendekatan konvensional yang terkesan monoton dengan hanya satu metode pembelajaran tanpa dikolaborasikan dengan metode atau pendekatan lain. Pembelajaran  dengan metode konvensional seperti yang di terapkan pendidik bidang studi Sosiologi di MA NW Rensing Lombok Timur  belum mampu mengembangkan pola berpikir kritis siswa, padahal siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk mengembangkan pola berpikir kritisnya jika saja pendidik menggunakan pendekatan lain dalam pembelajaran yang diterapkan. Kurang berkembangnya pola berpikir kritis siswa  saat ini di MA NW Rensing Lombok Timur  karena pendekatan yang diterapkan terbatas pada pencapaian kemampuan pada asfek kognitif semata, sementara aspek afektif dan psikomotorik tidak terlalu menjadi perhatian pendidik. Kondisi pembelajaran seperti ini akan berdampak pada kelesuan minat belajar siswa karena kemandirian siswa dalam pembelajaran kurang terlatih, dan proses pembelajaran berlangsung kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan pola berpikir kritis siswa.
Proses pembelajaran masih diwarnai penekanan pada aspek pengetahuan. Proses pembelajaran Sosiologi tidak banyak melibatkan siswa, karena dilakukan secara imposisi atau teacher centered (pendidikan berpusat pada guru) sehingga siswa cenderung bersifat pasif.
Berdasarkan fakta di lapangan tersebut, peneliti melakukan penelitian tindakan (action research) dengan pendekatan konstruktivisme dalam mengembangkan pola berpikir kritis siswa melalui pembelajaran Sosiologi di MA NW Rensing Lombok Timur



B.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merumuskan  permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengembangan pola berpikir kritis siswa melalui pendekatan konstruktivisme di MA NW Rensing Lombok Timur dalam pembelajaran Sosiologi?”. Untuk kajian fokus dan mendalam, peneliti merumuskan tiga sub masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana gambaran pola berpikir kritis siswa MA NW Rensing Lombok Timur pada pembelajaran Sosiologi ?
2.    Bagaimana faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan pola berpikir kritis siswa di MA NW Rensing Lombok Timur pada pembelajaran Sosiologi ?



















BAB II
LADASAN TEORI DAN

A.  Pengembangan Pola Berpikir Kritis Siswa
1.    Pengertian Pola Berpikir Kritis Siswa
Pola berpikir kritis adalah salah satu bagian dari keterampilan berpikir. Berpikir kritis berarti tidak lekas percaya, selalu menaruh “curiga” dan keraguan terhadap sesuatu yang dianggap fakta atau gejala sebelum diketahui secara pasti (atau mendekati pasti) bahwa memang demikian adanya. Pola  berpikir kritis berarti suatu teknik atau cara berpikir yang tajam dalam menganalisis suatu fakta atau gejala. Lebih jauh R. Matindas menyatakan bahwa, pola berpikir kritis adalah suatu aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalaui konteks yang terbatas, pengetahuan bukanalah seperangkat fakata, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangauan pengetahuan itu memberi makana melalui pengelaman yang nyata. Batasan konttruktivisme diatas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagaian integral dari pengelaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memeberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktuakisasikan dalam kondisi nyata.
            Sementara itu Halpen memberikan batasan tentang berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks, dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi, mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju
            Selain itu, berpikir kritis juga sebagai suatu teknik berpikir yang melatih kemampuan dalam mengevaluasi dan melakukan penilaian secara cermat tentang tepat-tidaknya ataupun layak-tidaknya suatu gagasan. Berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir (kognitif) yang mencakup penilaian dan analisis secara rasional tentang semua informasi, masukan, pendapat, dan ide yang ada, kemudian merumuskan kesimpulan dan mengambil suatu keputusan.
Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
1.      Pendekatan kontruktivisme
Kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita dalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Aliran ini pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata:  “tuhan adalah pencipta alam semsta dan manusia adalah tuan dari ciptan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berati mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berati bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membagun sesuatu itu kontruktivisme ini dikembangkan oleh Jean Piget, ia dikenal sebagai seorang piskolog yang pada akhirnya tertarik pada konstruktivistik dalam belajar.
            Konstruktivisme (construktivism) merupakan landasan berpikir (filosofis) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yakni siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman, dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya.
Senada dengan pernyataan di atas, Karli menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali oleh kejadian konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar,  pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalaman dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
2.      Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Atas bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntunan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Prinsip terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik  atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Oleh karena itu, aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada guru melainkan pada siswa.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivisme, yaitu:

mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Kenyataan menunjukkan bahwa seorang guru yang mengajar di kelas sering mendapatkan siswa-siswanya mempunyai pemahaman yang berbeda tentang pengetahuan yang diperoleh dan dipelajarinya, padahal siswa-siswa belajar dalam lingkungan sekolah yang sama, guru yang sama, dan bahkan buku teks yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja ditransfer dari guru ke siswa dalam bentuk tertentu, melainkan siswa membentuk sendiri pengetahuan itu dalam pikirannya masing-masing sehingga pengetahuan tentang sesuatu, dipahami secara berbeda-beda oleh siswa.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi berpikir, bukan seluruhnya melalui transfer guru kepada siswa. Oleh karena itu, siswa tidak dianggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas. Ia telah membawa berbagai pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru sebagai modal untuk menemukan pengetahuan berikutnya sehingga dengan perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi miliknya.
B.  Piaget konstruktivisme piskologi personal.
Piaget (dahar, 1988: 149) menyatakan bahwa ada tinga aspek pertumbuhana intelektual yang trstruktur, isi (conten) dan fungsi, lebih lanjut piaget menyatakan bahwa perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk memastikan atau mengorganisasi proses-proses fisik piskologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi merupakan kecndrungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Adaptasi dilikungan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomudasi.
Piaget menggunakan filsafat kostruktivisme dan proses belajar. Ia menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi kedalam suatu realitas, seperti organisasi beradaptasi ke dalam lingkungannya. Piaget jugk menjelaskan sarana pembelajaran adalah peningkatan saran kualitas berfikir dan ketajaman penalaran, yang merupakan indikataor perkembangan kognitif yaitu pengubahan struktur kognitif dengan asimilasi dan akomudasi, sehingga adaptasi menurut piaget merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomudasi.
Suparno (1997: 30) memeberikan penjelasan singkat mengenai beberapa istilah yang digunkan dalam teori piaget untuk menjelaskan proses seseorang memperoleh pengetahuan. Penjelasan tersebut adalah sebagai berikut :
a)      Schemata adalah struktur mental dimana seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkugannya. Dalam pengembangan mental anak, skemata akan berubah dan beradaptasi. Makin baik kualitas skemata ini, makin baik pula pola penalaran anak tersebut. Proses yang mempengaruhi perkembangan skemata adalah assimilasi, akomudasi, dan equlibirasi.
b)      Assimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengngitegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengelaman baru kedalam skemata yang sudah ada didalam pikirannya, dengan assimilasi, skemata yang telah ada dalam pikiran seseorang dicocokan dengan rangsangan yang diperolehnya. Assimilasi tidak menyebapkan perubahan atau pengantin skemata, melainkan menumbuhkan skemata yang telah ada.
c)      Akomudasi adalah proses pengintegrasian rasangan baru kdalam skemata, yang telah terbentuk. Seseorang akan mengadakan akomudasi malalui pembentukan skemata baru yang cocok dengan rasangan baru atau memodifikasi skemata yang ada sehingga cocok dengan rasangan baru.
d)     Equilibrasi adalah proses keseinmbangan antara assimilasi dan akomudasi. Apabila dalam proses assimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkunganya, maka terjadilah disequilibrium (ketidakseimbangan). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jelas assimilasi dan akomudasi.
C.  Vgostky pada konstruktivisme piskologi social.
Vgostky (suparno,  1997: 45) memebedakan dua pengertian yaitu, pengertian spontan dan pengertian ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan anak dari pengelaman anak-anak sehari-hari.pengertian ini tidak difinisikan dan terangkai secara sestimatis. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang diperoleh siswa ketika berada di kelas. Pengertian ini adalah pengertian formal yang terifinisikan secara logis dalam suatu sistem yang lebih luas. Dalam proses belajar terjadi perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang ilmiah.
Teori vgostky dianggap salah satu teori penting dalam piskologi pengembangan, sumbangan terpentingnya adalah penekanan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vgostky (suparno, 1997 : 45) menggunakn istilah, “zo-ped” yaitu pertemuan pengertian  spontan anak dengan pengertian ilmiah (sistimatis). Oleh karna itu menggap bahwa pengertian ilmiah itu tidak dating dalam bentuk yang jadi pada seorang anak melainkan melalui pengembangan dengan cara saling berelasi dengan pengetahuan spontan.
Siswa dikatakan mengalami pembelajaran jika ia mampu mengembangkan pengetahuannya, dan kemudian membangaun pengetahuannya baru sehingga mencapai taraf pemahaman (understanding) yang sebenernya. Dalam proses KBM sudah seharusnya siswa didorong untuk mempertajam, memperluas, memeperkaya, dan kemudian menstruktur kembali pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan logika yang dibangunya sendiri. Untuk dapat mngujudkan, guru dapat menggunakan beberapa cara, salah satunya adalah dengan menggunakan sistem penilaian selam dan pembeljaran dengan tepat.
D.  Konstruktivisme sosiologi
Konstruktivisme sosiologi berpandangan bahwa pengetahuan itu adalah hasil penemuan social dan sekaligus jugk merupakan factor dalam perubahan social. Berger (Suparno, 1997 : 47) mengemukakan bahwa kenyatan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain, pengetahuan social dibentuk di tersmisikan dari generasi kegenerasi lainya.
Konstruktivisme sosiologi menekankan bahwa pengtahuan ilmiah merupakan kontruksi social, bukan kontruksi individu. Kelompok ini menekankan lingkungan, masyarakat, dan dinamika ilmu pengetahuan, (mattwhes dalam suparno, 1997 : 48) konstruktivisme sosiologi mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara social,
E.  Model pembelajaran konstruktivisme
Suprijono (2009: 46) mengemukakan bahwa “model pembelajaran adalah pola yang digunakan untuk menyusun kurikulim, mengatur, materi, dan member petunjuk kepada guru dikelas” lebih lanjud joyce (suprijiono, 2009: 46) mengmukakan bahwa ‘each model guides us as we design instruction to help student achieve various objectives’. Berdasarkan kedua kutipan diatas maka model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu rencana /pola yang merupakan kerangka konseptual untuk merancang kegiatan pembelajaran yang melukiskan arah pembelajaran yang dapat membantu siswa mendapatkan informasi dalam aktivitas belajar mengajar.
Model pembelajaran dapat dijalankan melaui pengguana berbagai pendekatan, metode dan keterampilan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran digunakan guru untuk menentukan prosudur sistemaris dalam mengorgansasikan pengelaman belajar agar mencapai kopetensi tertentu sebagai sasaran pembelajaran. Metode pembelajaran digunakan guru untuk menciptakan likungan belajar dan atau menetukan aktivitas siswa maupun guru dalam pembelajaran. Sedangkan keterampilan pembelajaran merupakan cukup sepasifik yang demikian guru seperti halnya kemampuan mengajukan pertanyan, memimpin diskusi, memberikan pengarahan, menjelaskn atau menyajikan.
Seperti yang telah diutarkan teori konstruktivisme pada bagian selamanya, maka dalam proses pembelajaran dengan model konstruktivisme diawali dengan terjadinya konflik kognitif siswa. Setelah konflik kognitif ini diatasi oleh siswa dengan lingkunagan belajar yang telah dirancang guru, maka pada akhir peroses belajar pengetahuan akan dibangun oleh siswa sehingga menjadi pengetahuan yang lengkap.
Karil (2007: 26) menegaskan pemikiran piaget dengan mengemukakan bahwa “terjadi proses modifikasi struktur kognitif pada siswa terjadi dalam dua kemungkinan”. Hal tersebut dapat diliat pada diagram berikut.







Hala baru
(hasil intraksi dengan lingkungan)
sekema
 







Dibandingkan dengan konsepsi awal
Tidak cocok
Ketidak seimbangan
cocok
Jalan buntu (tidak mengerti)
Alternative lain
akomudasi
Mengerti

Keseimbangan
cocok
Asimilasi
 

















Diagaram perolehan pengetahuan siswa

Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil intraksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konspsi awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa, maka terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Melalui proses akomudasinya dalam kegiatan pembelajaran, siswa dapat memodifikasikan struktur kognisinya menuju keseimbangan sehingga terjadi asimilasi. Namaun tidak menutup kemungkinan siswa mengalami jalan buntu (tidak mengerti) karena ketidakmampuan beakomudasi. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi lain untuk mengatasinya.
Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran konstruktivusme adalah suatau proses belajar yang melibatkan siswa aktif secara mental membangaun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimiliki siswa tersebut. Dalam pembelajaran konstruktivisme guru lebih berperan sebagai fasilitaor dan madiator pembelajaran. Penekanan tntang blajar dan mengajar lebih fokus pada suksesnya siswa mengorganisasikan pengelaman mereka, bukan pada ketepatan siswa dalam melakaukan relflikasi atas apa yang dilakukan guru.
F.   Hubungan Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivisme Dengan Prestasi Belajar Siswa.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sbelumnya, maka perlu dipelajari hubungan antara tori yang satu dengan teori yang lainnya. Misalnya hubungan antara model pembelajaran konstruktivisme dengan prestasi belajar siswa. Dengan alasan trsebut maka kajian teori ini akan menjadi sangat penting dilakukan demi pendalaman teori yang berkaitan permasalahan dan tujuan pada penelitian ini. Selanjutdnya kajian teori ini dapat menjadi dasar penelitian untuk memperkuat kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini. Selain itu juga, sebelum penelitian dileksanakan kajian teori ini dapat mambantu penelitian untuk membuat instrumen penelitian yang tepat.
Berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan diproleh kesimpulan bahwa model pembelajaran konstruktivisme berdasar pada teori belajar konstruktivisme. Model konstruktivisme memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar berdasarkan pengelaman lasung memelalaui kegiyatan menyidikan sehingga siswa dapat mengkostruksi pengetahuan mereka dengan mencoba ide-ide baru dan pendekatan-pendekatan didasarkan atas pengetahuan dan pengelaman mereka sebelumnya. Kondisi ini mendapat melatis siswa dalam mengembangkan pola pikir mereka untuk menemukan sendiri jawaban dan rasa keingitahuan mereka.

Hubungan sintaks model pembelajaran konstrukvisme dengan perstasi belajar siswa
No
Fase pembelajaran konstruktivesme
Aktifitas pembelajaran
Prestasi belajar yang terlatih
1
Apersepsi
Siswa di dorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas.
Pengetahuan (C1),
Pemahaman (C2)
2
Eksplorasi
Siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dana menemukan konsep melaluai pengumpulan, pengorganisasian dan menginterprestasikan data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru
Pemahaman (C2)
Analisis (C4)
3
Diskusi  dan penjelasan konsep
Siswa memeberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan pengetahuan dari guru.
Pengetahuan (C1),
Pemahaman (C2)
Analisis (C4)
4
Pengembangan dan aplikasi
Guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya.
Pengetahuan (C1),
Pemahaman (C2)
Penerapan (C3)








BAB III
PEMBAHASAN
A.   Gambaran Pola Berpikir Kritis Siswa MA NW Rensing Lombok Timur dalam pembelajarn Sosiologi.
            Berdasarkan hasil pengamatan  peneliti pada  saat proses pembelajaran Sosiologi MA NW Rensing Lombok Timur. Sosiologi belum berkembang dengan baik, hal ini disebabkan dalam peroses pembelajaran pendidik lebih cenderung menggunakan metode ceramah, yang sekali-kali diselingi dengan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban koor. Pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan pendidik masih bersipat teacher centered (pembelajaran berpusat pada pendidik), pada pelaksanaan pembelajaran seperti ini pendidik mendominasi kelas, seluruh pengetahuan seolah-olah pendidiklah yang memilikinya, sementara siswa bersifat pasif dan terkesan menerima semua penjelasan dan pendapat pendidik. Pola berpikir siswa terbatas pada bagaimana menjawab pertanyaan pendidik seputar materi yang disampaikan tanpa menambah atau menanyakan mengapa seperti itu apalagi menyanggah pendapat pendidik. Hal ini disebabkan karena  pendidik belum memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa untuk menemukan, menganalisa, dan mengkonstruk pengetahuannya sendiri agar pola berpikir siswa berkembang secara maksimal. Bila dilihat sistem pembelajaran yang diberikan oleh pendidik, maka sangat tidak efektif dalam mengembangkan pola berpikir kritis siswa karena pada model pembelajaran seperti ini tidak terlalu kelihatan siapa sesungguhnya siswa yang berprestasi dan aktif dalam mata pelajaran Sosiologi, karena siswa menjawab secara spontan dan bersama-samakadang ada yang terlihat sekedar membuka mulut saja tanpa terlihat jelas jawaban yang diberikan. Ada pula siswa yang tidak terlalu peduli dengan pertanyaan yang diberikan oleh pendidik karena siswa tidak menganggap pertanyaan yang diberikan sebagai tolok ukur pencapaian target pembelajaran namun menganggap hanya sebagai kesimpulan diakhir pembelajaran.
Walaupun demikian secara umum karakteriristik berpikir kritis siswa MA NW Rensing Lombok Timur sudah ditunjukkan, karena dalam proses pembelajaran teridentifikasi beberapa kreteria berpikir kritis seperti:
1.    Menanyakan sesuatu yang berhubungan
Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, sudah ada siswa yang bertanya, walupun memang dalam kenyataannya masih ada siswa yang belum bertanya sesuai dengan materi yang diajarkan. Jika dirata-ratakan jumlah siswa yang bertanya tersebut sekitar 40% siswa, sisanya tidak memberikan komentar apa-apa dan terkesan menerima semua hasil penjelasan pendidik.
2.    Menilai pernyataan atau argumen
Dalam menilai pernyataan atau argumen yang disampaikan pendidik, MA NW Rensing Lombok Timur khususnya kelas XII pada waktu pembelajaran ada yang  memberi sanggahan terhadap pendapat pendidik maupun temannya, namun perentase siswa yang demikian masih sangat sedikit karena hanya dua orang siswa yang berani menyatakan pendapatnya sedangkan siswa yang lain hanya pasif dan seperti tidak mau tau.
3.    Memiliki rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu siswa MA NW Rensing cukup besar, hal ini terlihat ketika siswa diberikan tugas, mereka berusaha menemukan dan menjawab apa yang belum diketahui dari tugas yang diberikan pendidik. Begitu juga ketika siswa menemukan masalah dalam pembelajarannya di luar kelas, mereka aktif mencari solusi dengan mencari literatur yang terkait di perpustakaan bahkan tidak segan-segan mendatangi pendidiknya untuk menanyakan jalan keluar atau jawaban masalah pembelajaran yang dialami.
4.    Tertarik mencari solusi baru
Siswa MA NW Rensing Lombok Timur dalam menghadapi permasalahan pembelajaran bersifat agresif dan selalu mencari pemecahan yang dianggap paling sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Walaupun jawaban dari permasalahan sudah ditemukan, namun untuk mencari jawaban yang menurutnya sangat tepat selalu diupayakan untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik dari permasalahan yang di hadapi. Hal ini dapat dibuktikan dalam menyelesaikan tugas sekolah yang dianggap sulit, siswa mencari sendiri solusi dan menemukan jawaban dari tugas yang diberikan pendidik. Apabila jawaban atau solusi yang ditemukan sendiri kurang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi setelah siswa mendiskusikan masalah tersebut dengan teman, pendidik, dan orang yang dianggap berkompeten maka solusi yang sudah ditemukan akan diperbaharui dengan solusi baru yang didapat dari hasil diskusi.
5.    Mencari bukti
Siswa MA NW Rensing Lombok Timur dalam menyikapi informasi yang diterima, baik yang berkaitan dengan pembelajaran maupun kegiatan-kegiatan yang diluar sekolah yang tidak sesuai atau diluar kebiasaan yang berlaku di MA NW Rensing Lombok Timur, menurut wakil kepala sekolah bidang kesiswaan kepada peneliti bahwa mereka tidak langsung percaya tetapi mencari bukti atau menanyakan kebenaran informasi yang diterima kepada teman, pendidik atau kepada kepala sekolah langsung.
B.   Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Pola Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran Sosiologi di MA NW Rensing Lombok Timur.
Pelaksanaan pembelajaran dalam suatu institusi pendidikan tidak akan pernah terlepas dari berbagai faktor yang mendukung, dan menghambat yang mengiringi proses pelaksanaannya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan peneliti di MA NW Rensing Lombok Timur, peneliti menemukan beberapa faktor pendukung, dan penghambat pengembangan pola berpikir kritis siswa pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam sebagai berikut :
a.    Faktor Pendukung
1)   Kajian  Rutin Madrasah Setiap Selesai Semester
Menurut hasil wawancara peneliti dengan Kepala MA NW Rensing Lombok Timur salah satu faktor pendukung yang bisa menjadi wadah untuk mengembangkan pola berpikir kritis siswa termasuk pendidikan Sosiologi dan pelajaran agama lain pada umumnya adalah kegiatan kajian rutin madrasah yang dilaksanakan setiap selesai semster. Kegiatan ini dilaksanakan dengan menggunakan sistim diskusi yang dipinpin oleh ketua yayasan pondok pesantren NW  dengan melibatkan semua komponen madrasah untuk mengkaji persoalan-persoalan keagamaan yang sering terjadi di masyarakat untuk diketahui hukumnya.
Dikatakan sebagai salah satu pendukung pengembangan pola berpikir kritis siswa karena kegiatan ini dapat menjadi wadah untuk belajar bagaimana cara mengutarakan pendapat dan bagaimana cara memberikan tanggapan dari persoalan yang di bahas dalam kajian tersebut yang nantinya bisa diterapkan dalam pembelajaran khususnya Sosiologi
2)   Motivasi Belajar Siswa yang Tinggi
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pendidik bidang studi Sosiologi mengenai motivasi belajar siswa pada pembelajaran Sosiologi peneliti mendapat informasi bahwa siswa pada pembelajarn Sosiologi memiliki motivasi yang baik karena setiap pertemuan prosentase kehadiran siswa tidak pernah kurang dari 95%  dan tugas-tugas yang diberikan tidak pernah tidak dikerjakan. Kalaupun ada siswa yang tidak hadir menurut dia, disebabkan karena siswa tersebut sakit.
3)   Terdapat Kelompok Belajar di Luar Jam Sekolah
Kelompok belajar siswa MA NW yang dibentuk oleh wali kelas memberikan andil yang besar dalam mengembangkan daya berpikir kritis siswa pada semua mata pelajaran termasuk Sejarah Kebudayaan Islam, karena dalam kelompok belajar tersebut akan mengasah kemampuan siswa untukberpikir, bekerja sama dan saling menghargai satu sama lain dalam mengerjakan tugas yang diberikan pendidik.
4)   Kegiatan Ekstra Kurikuler di Sekolah
Kegiatan ektra kurikuler siswa yang diadakan di MA NW  juga memberikan dukungan yang positif dalam mengembangkan pola berpikir kritis siswa  khususnya pada pelajaran Sosiologi.
Kegiatan-kegiatan ekstra kulikuler seperti yang dilaksanakan oleh pramuka, PMI dan OSIS sangat berpariasi seperti diskusi, pelatiahan ketangkasan, cerdas cermat dan lain-lain akan menggali dan mengasah kemampuan siswa.
5)   Jalinan Hubungan Emosional Pendidik dengan Siswa yang Kondusif.
Proses pembelajaran berjalan dengan baik apabila hubungan pendidik dengan siswa berjalan dengan kondusif. Hubungan emosional pendidik dengan siswa di MA NW khususnya pendidik bidang studi Sosiologi berjalan dengan baik dan harmonis sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar.




BAB VI
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada beberapa bab sebelumnya dan pengamatan yang penulis lakukan di MA NW Rensing Lombok Timur  maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1.    Gambaran pola berpikir kritis siswa pada pembelajaran Sosiologi di MA NW Rensing Lombok Timur sesuai dengan hasil pre test awal belum berkembang dengan baik namun secara umum, pola berpikirnya telah memenuhi kreteria berpikir, di anataranya: Menggunakan bukti ilmiah dengan baik dan berimbang, mengelola pikiran dan menyampaikannya secara konsisten dan jelas, membedakan sesuatu secara logis, mampu belajar secara mandiri dan tidak mudah putus asa dalam mengerjakan sesuatu, dapat memberi argumen secara lisan bila terdapat ketidaksesuaian, membiasakan meragukan pendapat sendiri dan berusaha memahaminya, menyadari bahwa kemampuan memahami sesuatu adalah terbatas, mengaku kemungkinan pendapatnya sendiri keliru.
2.    Faktor pendukung dan penghambat dalam setiap aktifitas akan selalu ada terlebih dalam pendidikan. Begitu juga dalam pengembangan pola berpikir kritis siswa di MA NW Rensing Lombok Timur  pada pembelajaran Sosiologi  memiliki faktor pendukung dan faktor penghambat. Adapun faktor-faktor tersebut  adalah :
a.    Faktor Pendukung
1)   Keberadaan kajian  rutin madrasah setiap selesai semester
2)   Motivasi belajar siswa yang tinggi
3)   Dibentuk  kelompok belajar di luar jam sekolah
4)   Kegiatan ekstra kurikuler di sekolah  
5)   Hubungan emosional guru dengan siswa yang kondusif.
b.         Faktor Penghambat
1)   Latar belakang pendidikan guru
2)   Alokasi waktu pembelajaran
3)   Refrensi atau buku penunjang yang kurang
4)   Letak geografis sekolah yang di daerah pedesaan
5)   Profesionalisme guru
3.    Upaya pendidik dalam mengembangkan pola berpikir kritis peserta didik dengan pendekatan konstruktivisme pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ternyata dapat meningkatkan aktifitas belajar dan berpikir kritis peserta didik. Hal ini dapat terlihat dari siklus pertama sampai terahir yang mengalami kemajuan yang cukup baik. Keaktifan tersebut ditandai dengan berani bertanya, mencari dan mengolah informasi, berani mengemukakan ide atau gagasan, menjawab pertanyaan yang diajukan, mengembangkan dan menganalisis peristiwa-peristiwa kemasyarakat dalam pembelajaran sosiologi  yang dipelajari, mengekplorasi pengalaman belajar, bertukar pikiran dengan teman, dan membuat kesimpulan. Peran guru juga tidak lagi sebagai orang yang menyampaikan informasi tetapi sebagai fasilitator dan motivator dalam belajar, serta membimbing siswa mencari dan menemukan sumber belajar dan informasi lain yang berhubungan dngan materi pembelajaran serta meramu dan menganalisis materi pembelajaran kemudian menyimpulkan.
B.  Implikasi
Berdasarkan hasil pengamatan  dan kesimpulan yang telah di  paparkan, implikasi penelitian ini adalah :
1.    Bagi Pendidik bidang studi Sosiologi, diharapkan untuk selalu meningkatkan profesionalismenya baik melalui pendidikan formal, maupun kegiatan-kegiatan pengembangan profesi dalam jabatan ( in service training), seperti MGMP, KKG, workshop dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menunjang terhadap pengembangan profesionalisme. Pendekatan konstruktivisme, diharapkan benar-benar dapat mengoptimalkan pembelajaran sekaligus sebagai model dalam pembelajaran. Karena pendekatan konstruktivisme mengharuskan adanya berbagai alternatif kegiatan belajar, sehingga peran guru dalam proses pembelajaranpun akan selalu berubah sesuai dengan jenis dan karakteristik materi pembelajaran. Guru harus harus dapat merubah pola pembelajaran lama teachered centered   ke student centered.
2.    Bagi kepala Sekolah, diharapkan dapat memberikan motivasi dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pendidik khususnya pendidik bidang studi Sosiologi untuk mengembangkan potensinya dalam melaksanakan pembelajaran, serta mencoba berbagai model pembelajaran yang aktual termasuk pendekatan konstruktivisme, baik melalui wadah pengembangan guru seperti MGMP, KKG, maupun kegiatan lain agar terus dikembangkan.
3.    Kendala atau faktor penghambat pengembangan pola berpikir kritis siswa harus dapat di minimalisir dengan mengevaluasinya untuk dapat dicarikan solusi seperti peningkatan sumber daya  guru, pasilitas pembelajaran, dan lain sebagainya.



















DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar