Powered By Blogger

Sabtu, 07 Januari 2012

SIMBOL-SIMBOL DALAM MAKANAN KITA

Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti sangat sering menjumpai berbagai simbol. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh karena simbol merupakan salah satu infrastruktur bahasa, yaitu bahasa simbol. Bahasa simbol tidaklah identik dengan sistem komunikasi masyarakat primitif, dalam masyarakat modern pun sebagaian besar pesan komunikasi disampaikan dengan simbol-simbol, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Bahasa simbol juga banyak dipakai oleh otoritas masyarakat dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Tentu saja karena otoritas masyarakat bertugas untuk menjamin kemaslahatan masyarakat, pesan yang disampaikan juga merupakan pesan yang berguna untuk kemaslahatan masyarakat terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar memperhatikan simbol-simbol tersebut? Besar kecilnya perhatian kita tentu menunjukkan seberapa besar kepedulian kita terhadap kemaslahatan masyarakat dan kita sendiri sebagai individu. Dalam hal ini saya ingin saling mengingatkan tentang beberapa simbol terkait dengan aktifitas santap makan kita. Hal ini karena makanan merupakan salah satu hajat terbesar dalam hidup kita. Selain itu, juga mengingat sebagian besar konsumsi makanan kita hari ini sebagian besar merupakan makanan olahan/instan. Bahkan kalau kita berpikir secara transedental, makanan tidak hanya berdimensi fisik tetapi juga intelektual, emosional bahkan spiritual (InsyaAllah tulisan tentang ini akan menyusul). Saat kita berbelanja produk-produk makanan sudahkah kita selalu memperhatikan simbol-simbol berikut, atau kita lebih mementingkan rasa, harga atau prestise merk? Berikut ini beberapa simbol tersebut:
Pertama, simbol tentang kehalalan produk. Logo di samping adalah identifikasi resmi yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap produk-produk yang telah lolos uji halal yang dilakukan oleh LP POM MUI. Meskipun bukan otoritas pemerintah, tetapi sejauh ini (sampai sekarang RUU Jaminan Produk Halal masih dibahas di DPR) MUI-lah yang memegang sertifikasi produk halal. Sertifikasi halal secara resmi dari MUI ditunjukkan dengan logo berupa tulisan halal (Indonesia dan Arab), yang dilingkari dengan tulisan nama lembaga MUI (Indonesia dan Arab), kemudian di bawahnya dilengkapi dengan nomor sertifikatnya. Namun, karena hingga sekarang di Indonesia belum ada standar label halal (dari pemerintah) sehingga beberapa produk yang menggunakan label halal ada yang belum mendapatkan sertifikat halal dari pihak yang berwenang. Biasanya produk yang mencantumkan logo halal yang tidak resmi MUI (tidak ada nomor sertifikasi) karena belum menyelesaikan sertifikasi MUI, tetapi berkeyakinan seluruh bahan produknya halal.
Konsekuensinya kita harus senantiasa berhati-hati karena produk yang belum mencantumkan logo tersebut atau sudah mencantumkan tapi logonya tidak standar meskipun belum tentu haram tapi juga belum tentu halal. Hal ini karena memastikan kehalalan produk dalam proses produksi kontemporer tidaklah mudah. Dalam proses pengolahan pangan, yang menjadi perhatian adalah terjadinya pencampuran (ikhtilath), atau jika bahan tersebut dikeluarkan kembali dari produk, setidaknya akan terjadi pemanfatan (intifa’) bahan yang mungkin berasal dari bahan yang haram atau najis. Sebagai contoh, produksi kue/biskuit yang banyak melibatkan bahan tambahan makanan (misalnya pengemulsi, rennet) yang biasanya diperoleh dari bagian tubuh hewan-hewan tertentu. Bahan-bahan tersebut harus dipastikan hewannya bukan hewan yang diharamkan, kemudian harus dipastikan cara penyembelihannya sesuai dengan syariat islam dan harus dipastikan cara pengolahannya tidak melibatkan/bercampur bahan yang diharamkan. Di sinilah pentingnya otoritas yang mendapat legitimasi publik (MUI) untuk melakukan tugas yang tidak mungkin dilakukan masing-masing individu. Sekarang setelah otoritas publik tersebut menjalankan fungsinya, seberapa peduli kita dengan pesan MUI melalui logo halalnya?
Kedua, simbol tentang keamanan plastik kemasan produk makanan. Logo-logo di samping sebenarnya merupakan lambang yang digunakan untuk pengelompokan daur ulang plastik berdasarkan kode angka yang ada di dalamnya. Kode ini dikeluarkan oleh The Society of Plastic Industry pada tahun 1988 di Amerika Serikat dan diadopsi pula oleh lembaga-lembaga yang mengembangkan sistem kode, seperti ISO (International Organization for Standardization). Dalam pemakaian untuk kemasan makanan, kode ini menunjukkan tingkat keamanan plastik untuk digunakan sebagai kemasan makanan (food grade). Plastik dengan logo yang berkode angka 1 berbahan PET (polyethylene terephthalate), angka 2 berbahan HDPE (high density polyethylene), angka 3 berbahan PVC (polyvinyl chloride), angka 4 berbahan LDPE (low density polyethylene), angka 5 berbahan PP (polypropylene), angka 6 berbahan PS (polystyrene) dan angka 7 berbahan SAN styrene acrylonitrile, ABS-acrylonitrile butadiene styrene, PC-polycarbonate, dan Nylon. Tingkat keamanan plastik tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Kode 4 dan 5; relatif sangat aman dan kode 5 merupakan pilihan terbaik untuk bahan plastik terutama untuk yang berhubungan dengan makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi.
2.       Kode 1 dan 2; aman untuk pemakaian satu kali sehingga direkomendasikan hanya digunakan untuk satu kali pemakaian.
3.       Kode 3 dan 6; tergolong plastik yang berbahaya dan direkomendasikan untuk dihindari. Plastik berkode angka 3 merupakan bahan yang paling sulit didaur ulang.
4.       Kode 7; yang berbahan PC dianjurkan untuk tidak digunakan sedangkan yang berbahan SAN dan ABS relatif aman digunakan untuk kemasan makanan.
Ketiga, simbol tentang keamanan dan kelayakan makanan untuk dikonsumsi. Produk makanan yang aman dan layak dikonsumsi harus telah melewati uji standar kesehatan dan keamanan yang ditandai dengan kode legalitas dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), atau bagi industri rumah tangga dengan pemasaran lokal oleh dinas kesehatan setempat. Kode legalitas tersebut sebagaimana simbol dalam gambar di samping. Kode BPOM MD untuk produk dalam negeri, kode BPOM ML untuk produk luar negeri, kode BPOM SP untuk produk industri kecil sampai menengah dan kode Dinkes P-IRT untuk industri lokal yang kebanyakan industri kecil (rumah tangga). Perhatian terhadap kode legalitas ini menunjukkan dua bentuk kepedulian sekaligus. Kepedulian pertama adalah kepedulian terhadap tingkat kesehatan dan keamanan konsumsi keluarga kita. Selain itu, dengan mengisi sebagian keranjang belanja dengan produk makanan berkode SP atau P-IRT juga mewujudkan kepedulian kita terhadap pengembangan usaha kecil dan menengah yang merupakan sektor kerja yang menghidupi sekitar 90% masyarakat Indonesia.
Keempat, simbol atau data tentang komposisi bahan. Sebelumnya kita memang kita harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilih bahan makanan yang perlu diwaspadai. Kemudian pastikan tertulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia dan tercetak dengan menggunakan huruf latin untuk membuktikan bahwa produk tersebut telah melewati sensor Pemerintah. Selain itu, pengetahuan yang cukup juga diperlukan mengingat sebagian produsen makanan tidak merinci bahannya, terutama bahan tambahan makanan (BTM) yang biasanya hanya ditulis bahasa umumnya, seperti pengemulsi, pewarna, dll. BTM perlu diwaspadai terkait kerawanan status kehalalan dan keamanannya. Sebagian BTM dicantumkan dalam kode huruf E diikuti 3 angka di belakangnya. Kode yang perlu diwaspadai antara lain E252 (berasal dari hewan atau tumbuhan), E334 (dari limbah pembuatan anggur/wine) dan E335-E337 serta E-353 (turunan asam tartarat yang dapat berasal dari limbah pembuatan anggur/wine).
Kelima, simbol yang menunjukkan kelayakan produk makanan untuk dipasarkan. Keterangan tentang kelayakan produk dipasarkan umumnya ditandai dengan simbol trade mark dan copyright. Registered Trade Mark, dilambangkan dengan huruf R dalam lingkaran yang menunjukkan bahwa merek dagang tersebut telah terdaftar di kantor paten negara asal produk. Sedangkan Copy Right, dilambangkan dengan huruf C dalam lingkaran yang menunjukkan bahwa huruf dan dekoratif yang terdapat pada label terdaftar di kantor paten telah dilindungi dari pembajakan.
Terakhir, simbol-simbol lain yang tetap harus diperhatikan. Selain simbol-simbol di atas masih ada beberapa keterangan antara lain tentang tanggal kadaluarsa yang dilambangkan dengan tulisan tanggal pada salah satu bagian kemasan produk, juga simbol yang memberikan pesan agar sampah kemasan dikelola dan dibuang dengan baik yang juga patut kita perhatikan.
Itulah beberapa simbol-simbol yang seyogyanya tercantum dalam produk-produk makanan yang kita konsumsi. Sayangnya, sampai sekarang masih banyak produsen makanan olahan/instan atau produsen plastik kemasan/tempat makanan yang tidak mencantumkan semua logo yang diperlukan. Di sisi lain, produk yang berlogo pun belum aman dari pemalsuan atau pembajakan. Sedangkan kita sendiri sebagai konsumen masih lebih banyak bersikap apatis, kurang memperdulikan pesan-pesan melalui simbol-simbol tersebut. Padahal, kepedulian kita selain akan membawa kebaikan bagi diri kita, juga akan memperkuat posisi tawar masyarakat di mata produsen yang pada akhirnya meningkatkan kemaslahatan masyarakat secara umum. (ph/dari berbagai sumber)
Like this:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar