Powered By Blogger

Jumat, 13 Januari 2012

Teori-Teori Sosial; Dari Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Intergralistik

Teori-Teori Sosial; Dari Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Intergralistik
Pendahuluan
Ilmu sosial dinamakan demikian, karena ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehiduapan bersama sebagai objek yang dipelajari. Ilmu ilmu sosial belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap dimana oleh bagian yang terbesar masyarakat, oleh karena itu ilmu sosial belum lama berkembang, sadangkan yang menjadi objeknya masyarakat terus berubah. Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis secara tuntas hubungan antara unsure-unsur dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, dikarenakan objeknya bukan manusia. Ilmu sosial yang masih muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam datara tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Ditengah kehidupan masyarakat, banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini. Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted tersebut sebagai sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk meemmahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa diolah lagi tentu saja banyak dan tersebar, mulai dari system keyakinan, tradisi agama, pandangan hidup ideology, paradigma dan juga teori, dan termasuk didalamnya teori sosial. Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positivisme lazim untuk mengambil sumber pengetahuan taken forr granted tersebut dari ranah paradigma dan teori. Kendati demikian, teori sebenarnnya bukan hanya untuk kalangan intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang berpandaangan hanya kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas sosial tidak dengan telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memanga telah menjadi tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas sosial dengan menggunakan kacamata atau teori tertentu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Dalam beberapa hal, teori ilmiah berbeda dengan asumsi-asumsi yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari dan secara tidak sadar telah dimiliki orang. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi suatu teori yang merupakan bagaian dari kegaitan ilmiah. Dalam memamasuki era pelahiran ini merupakan kajian dari teori yang eksplisit, sehingga menjadi objektif, kritis, dan lebih abastrak dari pada yang dilakasanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pemebentukan teori tidak pernah muncul dari awal, tidak mungkin bagi ahli teori sosial untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pengalaman sosial pribadinya, tau pengaruh dari pengalaman ini cara pandang dunia sosial. Proses pembentukan teori berlandaskan pada images fundamenatal tertentu mengenai kenyataan sosial. Gambaran tersebut dapat melingkupi asumsi filosofis, dasar mengenai sifat manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya pandangan yang mengatakan bahwa keterturan tertentu akan dapat diramalkan dalam dunia sosial. Teori ilmiah lebih menggunakan metodologi dan bersifat empiris. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Pengklasifikasian dalam ilmu sosial terdapat tiga perfektif besar yang berkembang selama ini, yakni perfektif structural fungsional, structural konflik serta konstruksionisme. Ketiga aliran tersebut masing-masing mengkritik dengan mematahkan proposisi, konsep maupun teori yang ditawarkan satu sama lain. Namun kritik tersebut tidak dapat menggoyahkan hegemoni mereka masing-masing dan ketiganya masih memiliki pengikut yang setia. Ketiga teori sosial tersebut, merupakan upaya dalam memahami realitas kehidupan. Dengan teori sosial diharapkan orang dapat menghimpunddan memaknai informasi secara sistematik bukan sja untuk menyumbang pengembangan teori, tetapi ebih penting lagi untuk memecahkan persolan dan untuk tujuan keberhasilan dalam mengarungi pergumulan kehidupan. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Micheal Root dalam philosophy of sosial science, membedakan jenis ilmu sosial, yakni ilmu sosial yang bercorak liberal dan ilmu sosial bercorak perfeksionis. Ilmu sosial liberal dikarenakan ia tidak berusaha mempromosikan suatu cita-cita sosial, nilai keajikan tertentu. Akar dari gagasan liberal ialah liberalisme dalam politik. Peneliti dalam ilmu ini bersifat neutralisme, tetapi tidak pernah terjadi dalam ilmu sosial. Lain halnya dengan ilmu sosial yang bercorak perfeksionis berusaha mencari wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, jadi dalam ilmi ini bersifat partisipan. Ilmu sosial ini bersifat tidak bebas nilai, menghargai objek-objek ubjek yang diteliti dan bahkan menjadikannya sebagai subjek. Data yang baik dalam pandangan cita-cita liberal merupakan yang bebas dari muatan nilai, moral dan kebajikan objek penelitiannya, tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi walaupun dalam penelitiannya bekerja keras. Contoh dari ilmu osial perfeksiois marxisme dan feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, sedangkan feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual. Keduanya memiliki persamaan anti eksploitasi dan dominasi. Selanjutnya Root mengusulka agar dalam cita-cita ilmu sosial liberal diganti dengan ilmu sosial perfeksionis yang communitarian, yakni ilmui sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah objek penelitian, komunitas. Ilmu sosial communitarian adalah ilmu sosial jenis partisipatory reseach, bukan ilmu osial empiris analitis dan bukan juga ilmu sosial terapan. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid)
Paradigma Ilmu Sosial
Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan yang seharusnya dikemukan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Paradigma diibaratkan sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view). (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial). George Ritzer mendefisikan tentang paradigma gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan unit consensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk memalakukan pemilihan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan masyarakat pengetahuan yang lain. Dengan paradigma menjadikan suatu pengetahuan akan mendapatkan informasi teori yang dapat mengkoordinasikan pengetahuan dan memberikannya makna. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Sebagai suatu konsep paradigma pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya the structure of scientific revolution, kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukuya socilology of sociology 1970. Tujuan utama dalam bukunya Kuhn; ia menentang asumsi yang berlaku secara umum dikalangan ilmuan mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuan pada umumnya berdiri bahwa perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi secara komulatif. Kuhn menilai pandangan demikian merupakan mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan tesisnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukan terjadi secara komulatif tetapi secara revolusi. Perubahan yang utama dan penting dalam ilmu pengetahuan terjadi akibat dari revolusi, bukan karena perkembangan secara komulatif. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Paradigama sosial mengacu pada orientasi perceptual dan kognitif yang dipakai oleh masyarakat komunikatif untuk memahami dan menjelaskan aspek tertentu dalam kehidupan sosial. Paradigma sosial terbatas pada pandangan dua hal; pertama, paradigma sosial yang hanya dimiliki oleh kalangan terbatas dan tidak memlulu diterima oleh anggota masyarakat. Masyarakat yang menerima paradigma ini masyarakat ilmiah, terciptanya komunikasi guna menciptakan paradigma sosial. Kedua, paradigma sosial yang berlaku dalam aspek tertentu dari kehidupan dan bukan aspek yang menyeluruh. Paradigma sosial lebih terbatas dalam ruang lingkung penerimaan dari pada pandangan dunia yang berlaku, sebagai element dasar dari paradigma sosial merupakan pandangan dunia baik dalam komponen dasar, keyakinan atau system keyakinan dan nilai-nilai yang terkait. Sebagaimana dalam pandangan Stephen Cotgrove paradigma memberikan kerangka makna, sehingga pengalaman memberikan makna dan dapat dipahami. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Ilmu Sosial Posivistik
Positivistic merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan.keyakinan faham aliran ini pada ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dlam kenyataan berjalan sesuai dengan hokum alam (natural lows). Upaya penelitian untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana sesungguhnya realitas itu berjalan. Positivis muncul pada abad 19 yang dipelopori oleh Auguste Comte. Dalam pencapai kebenaran maka harus menanyakan lagsung pada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung pada peneliti yang bersangkutan. Metodologi yang digunakan eksperiment empiris atau metodologi yang lain agar temuan yang diperoleh benar-benar objektif dan menggambarkan yang sebenar-benarnya. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial).
Kaum positivistic mempercayai masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte mempercayai penemuan dalam hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan sosial, dan ia menilai masyarakat bagaikan suatu kesatuan organic yang kenyataanya lebih dari jumlah bagian yang saling tergantung, tetapi tidak mengerti kenyataan ini. Oleh karena itu, metode penelitian empiris harus digunakan dalam kenyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagaian seperti halnya gejala fisik. Perkembangan ilmu tentang masyarakat bersifat ilmiah sebagai puncak dari proses kemajuan intelektual yang logis sebagaimana ilmu-ilmu telah melewatinya. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern)
Ilmu sosial positivistic digali dari beberapa pemikiran dari tokoh-tokohnya yakni Saint Simon (Prancis), Auguste Comte (Prancis), Herbert Spencer (Inggris), Emile Durkheim (Prancis), Vilfredo Pareto (Italia). Saint Simon menggunakan metodologi ilmu alam dalam membaca realitas sosial masyarakat, ia mengatakan bahwa dalam mempelakjari masyarakat harus menyeluruh dikarenakan gejala sosial saling berhubungan satu dengan yang lain dan sejarah perkembangan masyarakat sebennarnya menunjukan suatu kesamaan. Ilmu pengetahuan bersifat positif yang dicapai melalui metode pengamatan, eksperimentasi dan generalisasi sebagaimana digunakan dalam ilmu alam. Semua sejarah perkembagan sosial selalui disertai kemajuan dalam ilmu pengetahuan yang menggambarkan perkembangan masyarakat disertai dengan perkembangan cara berfikir manusia. Cara berfikir manusia mulanya bersifat teologis, spekulatif tetapi kemudian berkembang mendekati kenyataan bersifat konkreat, oleh karena itu bersikap positif dan ilmiah. August Comte. Comte membagi sosiologi menjadi dua macam sosial dinamik dan sosial statis. Sosiologiu merupakan sosial dinamik yang digambarkan dengan teori yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan masyarakat manusia. Comte menggambarkan bahwa sejarah umat manusia pada dasarnya merupakan ditentukan oeh pertumbuhan dari pemikiran manusia dan ilmu sosial merupakan haruslah merupakan hukum tentang perkembangan intelegensi manusia. Perkembangan pemikiran manusia menurut Comte terbagi menjadi tiga macam teologi kerangka berfikirnya dalam tingkat pemikirannya menganggap bahwa setiap gejala terjadi dan bergerak berada dibawa pengaruh supra natural, metafisik dengan kerangka berfikir abstrak; menganggap bahwa alam semesta dan segala isi diatur adanya gerak perubahan oleh hukum–hukum alam, dan ilmiah dengan kerangka berfikir positivisktik yang beranggapan gejala alam dan isinya dapat dipahami dan diterangkan oleh kenyataan-kenyataan objektif/positif. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Herbert Spencer. Menurut spencer bahwa objek dari ilmu sosial hubungan timbal balik dari unsure-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma tas kehidupan keluarga, hubungan antara lembaga politik dan lembaga keagamaan. Unsure dalam masyarakat memiliki hubugan yang tetap dan harmonis dan merupakan suatu integrasi. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar). Spencer memiliki kepercayaan bahwa manusia bersifat merdeka, dan setiap individu dengan bebas menggunakan adatnya, serta kebebasan itu harus tetap dijaga agar tidak dapat mengganggu kebebasan yang lain. Ia juga menjelsakan tentang pentingnya lembaga sosial dalam membentuk karakter individu, dan hubungan manusia dengan masyarakat merupakan proses dua jalur. Dimana individu mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi individu. Spencer dalam memandang masyarakat mengunakan teori evolusi dari evolusi universal berubah menjadi evolusi homogen tidak menentu menjadi evolusi hetrogen dan menentu. Masyarakat menurutnya perkembangannya dari sederhana, menuju kompleks dan terspesialisasi. Ia dalam memandang masyrakat menggunakan analogi organisme sebagaimana dalam ilmu biologi. Secara sederhana menurut Spencer bahwa masyarakat dibentuk oleh individu. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Perbedaan pemikiran antara Comte dan Spencer tetapi saling melengkapi dalam tradisi ilmu sosial yang bercorak positivistic, Comte dalam memandang masyarakat dengan cara menjelaskan perkembangan ersepsi manusia, menekankan perlunya aktualisasi ide, dan Spencer menekankankan perlunya aktualisasi benda. Comte berusaha menginterpretasikan genetic dari fenomena yang membentuk alam dan Spencer menafsirkan genetic dari feomena yang membentuk alam. Comte lebih bersifat subjektif sedangkan Spencer bersifat objektif. Spencer tidak hanya tertarik pada perkembangan ide, tetapi mengembangkan ide pada perubahan korelatif dalam organisasi sosial, tertib sosial struktur, maupun progress. Teori yang dimiliki oleh Spencer berupa analisa objektif seperti untuk pertumbuhan, evousi linier, multilinier, tipe-tipe sosial, dan good society. Kemudian pemikirannya diterjemahkan menjadi diferensisasi sebagai interelasi dan integrasi berbagai aspek penting dalam system masyarakat. Ilmuwan sosial yang diajurkan oleh Spencer berusaha untuk keluar dari bias dan sentimen tertentu. Ia ingin menggambarkan bahwa betapa upaya mempertahankan ide dan kepentingan material cenderung mewarnai dan mendistorsikan persepsi seseorang dalam memahami realitas sosial. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Emile Durkheim. Titik tekan kajian Durkheim berlwanan dengan kajian dari Spencer bahw individu dibentuk oleh masyarakat. Asumsi yang paling fundamental dalam pandangan Durkheim gejala sosial yang riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta prilakunya dan berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu yang lain. Gejala sosial atau fakta sosial yang rii9l dapat dielajari dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan tentang ilmu yang membahas masyarakat dapat dikembangkan. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern). Jiwa suatu kelompok sangat mempengaruhi individu, ia mengatakan bahwa kesaaran kolektif berbeda dengan kesadaran individu. Kata durkheim aturan yang berada diluar kontrak memungkinkan diadakannya kontrak-kontrak sosial yang mengingkat kontrak dan menentukan sah tidaknya suatu kontrak. Aturan yang diluar kontrak inilah yang dikatakan sebgai kesadaran kolektif. Durkheim memberikan sifat yang ada pada kesadaran kolektif yakni exterior dan constraint, exterior berada diluar individu yang masuk kedalam individu dalam erwujudan sebagai aturan moral, agama dan yang lain. Sedangkan untuk constraint merupakan kesadaran yang bersifat memaksa. Kesadaran kolektif merupakan consensus masyarakat yang mengatur hubungan sosial diantara masyarakat yang bersangkutan. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi).
Kajian dalam ilmu sosial menurut Durkheim melakukan pembacaan terhadap realitas sosial dengan cara makrao dengan menggunakan pendekatan fakta sosial. Fakta sosial suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus yakni mengandung tata cara bertindak berfikir dan merasakan yang berada diluar individu yang ditamankan dengan kekuatan koersif. Fakta sosial merupakan cara bertindak, yang memiliki cirri-ciri gejala empiric, yang terukur eksternal, menyebar dan menekan. Kekuatan koersif merupakan kekuatan untuk menekan individu. Fakta sosial dapat dikaji melalui data diluar pikiran manusia, studi yang trukur dan emirik merupakan koreksi terhadap Comte dan Spencer. Fakta sosial merupakan kumpulan fakta individu, tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu angka sosial. Angka merupakan representasi individu yang berkumpul sehingga menjadi plural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Vilfredo Pareto. Menurut Pareto dalam ilmu sosial bahwa ia mengamati fakta-fakta atau kenytaan secara objektif melalui penalaran logika. Observasi atau eksperimentasi terhadap fakta tidak membutuhkan pra anggapan yang diwarnai suatu prasangka. Dalam logico experimental ada dua elemen dasar yakni yang dinamakan logical reasoning dan observation of the fact. Teori sosial yang ada selama ini bersifat dogmatis, metafisis, non logis, absolute dan bersifat moral saja. Tindakan bagi Pareto merupakan didasarkan pada logis. Masyarakat baginya merupakan fenomena ketergantungan, karena factor yang telah dibentuk oleh masyarakat factor yang saling bergantung dan salaing mempengaruhi. Ilmu sosial baginya merupakan yang mempelajari uniformitas dalam masyarakat. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Pareto mempercayai bahwa konsep ekulibrium sangat berguna dalam memahami kehidupan sosial yang kompleks. Ia mencoba menjelaskan pertautan variable yang diyakini maisng-masing menyumbangkan keseimbangan dalam masyarakat. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Dalam ilmu sosial positivistic bersifat bebas nilai, objektif dan dalam perubahan yang terjadi dalam masyarkat memandangnya pada evolusi sosial. Perubahan yang terjadi dengan evolusi tersebut yang menekannkan pada ekulibrium ini, sehingga dalam ilmu sosial positivistic lebih bersifat status quo dan tidak peka perubahan. Pandangan yang digunakan dalam ilmu ini menggunakan pendekatan makro melihat realitas sosial dengan menggunakan system dan bagaiman individu terbentuk oleh system sehingga bersifat deterministic. Asumsi dasar dalam ilmu sosial positivistic memandang masyarakat bagaikan sebuah system organisme dimana satu yang lain saling berkaitan dan terdiri dari berbagai macam struktur dan menjalankan fungsinya masing-masing. Jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka tujuan dari penelitian untuk menjelaskan dan memaparkan tentang gejala sosial, penelitian harus objektif terukur, bebas nilai, dan peneliti bersifat netral. Penelitian ini dapat digunakan untuk generalisasi terhadap persolan yang lain. Metode penelitian merupakan penelitian kuantitatif, denan menggunakan pencarian ata melalui angket dan kuosioner.
Ilmu Sosial Kontruktivisme
Paradigma konstruktivis dalam ilmu sosial merupakan sebagai kritik terhadap ilmu sosial positivistic. Menurut paradigma ini, yang menyatakan bahwa realitas osial secara otologis memiliki bentuk yang bermacam-macam merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalman sosial, bersifat local dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukan. Realitas sosial yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisir pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivistic. Epistemologi antara pengamatan dan objek dalam aliran ini bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya. Aliran ini menggunakan metodologi hermeneutic dan sialektis dalam proses mencapai kebenaran. Metode yang pertama kali dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang-perorang, kemudian membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang sehingga tercapai suatu konsensus tetang kebenaran yang telah disepakati bersama. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial).
Konstruktivis dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karen aitu tuga ilmu sosial dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah structural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Max Weber. Weber mengajukan bahwa dalam ilmu sosial yang dipakai menggunakan oendekatan verstehende. Ia melihat ilmu sosial berusaha untuk memahami tindakan-tindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok dalam ilmu ini menurutnya bukanlah bentuk subtansial kehidupan masyarakat maupun nilai objektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perorangan yang timbul dari alas an-alasan subjektif. Verstehende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari peristiwa sosial histories. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tinakan yang bersifat “membatin”, tau bersifat subjektif yang mengkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Dari pandangan dasar yang dimiliki oleh Weber maka ia menganjurkan penelitiannya dalam bidang ilmu ini meliputi; tindakan manusia yang mengandung makna, tindakan nyata bersifat subjektif dan membatin, tindakan pengaruh positif dari situasi dan tindakan tu diarahkan kepada beberapa orang atau individu. Mempelajari tindakan sosial dan ia menganjurkan lewat penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti menginterpretasikan tindakan si actor dalam artian mendasar dengan maksud memahami motif tindakan si actor. Cara memahami motif tindakan actor Weber memberikan dua cara, pertama melalui kesungguhan, mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman actor. Peneliti menempatkan diri pada actor dan berusaha memahai sesuatu yang dipahi oleh actor. Metode pemahaman yang ditawarkan oleh Weber bersifat pemberian penjelasan kausal terhadap tindakan sosial manusia. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Perbedaan antara Weber dan Durkheim tentang kenyataan sosial. Bagi Durkheim bahwa ilmu sosial mempelajari fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu. Kenyataan sosial bagi Durkheim sebagai situasi yang mengtasi individu berada dalam suatu tingkatan yang bebas. Sedangkan bagi Weber keyataan sosial merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Durkheim memiliki pndangan berhubungan dengan realisme sosial, melihat masyarakat sebagai sautan yang riil, berada secara terlepas dari individu yang kemudian masuk didalamnya menurut prinsip-prinsip yang khas, tidak mencerminkan individu-individu yang sadar. Teori ini membandingkan masyarakat sebagai bentuk organis biologis dalam artian dalam menilai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang lenih dari sekedar jumlah bagiannya. Sedangkan Weber berposisi nominalis, dengan artian bahwa individu yang riil secara objektif, dan masayarakat merupakan suatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu. Analisis Weber dalam memandang individu merupakan suatu yang ekstrim, dan ia mengakui bahwa dinamika sejarah merupakan besar dan pengaruhnya terhadap individu. Pandangan Weber bersifat subjekif dan tujuannya untuk masuk kedalam arti subjektif yang berhungan dengan kategori interaksi manusia. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern).
Pemikiran Weber dari tindakan sosial dan metode verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat dari manusia mengkonstruksi realitas sosial dari perfektif subjektif dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruk mulai pembiasaan tindakan yang memungkinkan actor-aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberikan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat dialektik yang berisi tiga momen yakni,”masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas objektif, manusia produk masyarakat”. Bahwa makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima dilihat sebagai dasar dari organisasi sosial. Konstruksi sosial berusaha menyeimbangkan struktur masyarakat dengan individu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).
Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positivistic dan memiliki sifat yang sama dengan positivistic, sedangkan yang membedakan objek kajiannya sebagai star awal dalam memandang realitas sosial. Positivistic berangkan dari system dan struktur sosial sedangakan konstruktivis berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas sosial. Jika mau diturunkan dalam metodologi penelitian menjadi tujuan ilmu sosial ini memahami realitas sosial, ilmu bersifat neutral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang digunakan bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadaran. Penelitian yang dipakai merupakan penelitian kualitatif dengan metode pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dalam memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam dan memiliki keunikatan tersendiri, sehingga dari hasil penelitian yang didapatkan tidak boleh untuk menggeneralkan pada objek yang lain.
Ilmu Sosial Kritis
Ilmu sosial kritis tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filosof kontemporer di Jerman yang mencoba mengembangkan teori Marxian guna memecahkan persolan yang dihadapi sekarang. Teori sosial ini merupakan upaya pengkrtisan terhadap the father dari filsafat Jerman dan mengkritisi pemikiran Marx yang telah menjadi ideology bukannya ilmu. Marx yang telah menjadi ideology dapat dilihat pada Negara komunis sehingga ajaran Marx membatu dan tidak besifat transformative. Secara garis besar Mazhab Frankfurt dalam kelahirannya upaya mengkritisi pemikiran ilmu sosial yang selama ini dan realitas sekarang. Ritzer mencoba memetakan tentang sasaran kritik para pemikir dari mazhab Frankfurt yakni ada lima macam, pertama kritik terhadap dominasi ekonomi, kritik terhadap sosiologi pada intinya mengatakan bahwa sosiologi bukanlah sekedar ilmu atau metode sendiri tetapi harus dapat mentransformasikan struktur sosial dan membantu manusia keluar dari tekanan struktur, kritik filsafat positivistic yang memandang manusia sebagai objek (alam) dan tidak tanggap terhadap perubahan, kritik terhadap masyarakat modern yang telah dikuasai oleh revolusi budaya, kritik budaya (birokrasi) yang menyebabkan masyarakat dibatasi oleh mekanisme adminitrasi, dan melahirkan budaya semu yang melahirkan represifitas struktur yang melumpuhkan manusia.
Munculnya pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan melwan krisis pada waktu saat itu, ia kecewa terhadap pengaruh filsafat positivistic yang melahirkan perfektif objektivistik dan pengaruhnya masuk kedalam seluru disiplin ilmu pengetahuan. Bagi mereka, dengan pemikiran yang telah diiajukan oleh positivistic telah melahirkan wawasan dan cara pemikiran jangka pendek. Kenyakinan positivisme telah menimbulkan krisis, oleh akrena itu ia menawarkan pemikiran alternative “teri kritis”. Akar pemikiran Mazhab ini dapat ditelusuri dari Marx, Hegel yang telah membrikan banyak ilustrasi dan memberikan pencerahan. Analisis yang digunakan frankfutr menggunakan dua proporsi yang utama. Pertama pemikirn seseorang merupakan produks masyarakat dimana ia hidup. Pemikiran manusia terbentuk secara sosial, maka tidak mungkin orang mencapai pengetahuan dan kesimpulan objektif, bebas dari pengaruh perkembangan zaman dan pola-pola konseptual yang ada dimana manusia hidup. Kedua, ilmuan dan intelektual tidak dapat objektif, mencoba bersikap bebas nilai dalam membangaun perfektif pemikirannya. Seorang intelektual harus kritis memahami prilaku masyarakat dan menjadi orientasi menjadikan orang menyadari apa yang harus mereka kerjakan sesuai yang mereka inginkan dalam perubahan. Pemikiran kritis menyadari bahwa pemikiran buklanlah sesuatu yang memiliki keunikan objektif, mereka percaya bahwa di dunia pengetahuan terdapat kebenaran dan engetahuan yang riil. Pendekatan ini yang mencoba membedakan mainstream pengetahuan positivis yang memisahkan peran dan nilai dalam analisisnya. Positivisme yang mereka pakai lebih mengacu pada kajian empiric terhadap hipotesis dan pengetahuan objektif. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Kata kunci kritik merupakan upaya untuk memahami dalam teori kritis, kritik dalam teori ini merupakan mengupayakan suapaya teori bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diupayakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan kebudayaan yang telah diselubungi oleh ideology yang telah menguntungkan pihak-pihak tertentu dan sekaligus mengasingkan manusia dalam kehidupan masyarakat. Kata kritik berakar dalam tradisi filsafat itu sendiri dan kata tersebut sudah dipakai sejak zaman pencerahan. Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri rasio dalam sejarah. Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran. Pada generasi pertama mereka melontarkan kritik terhadap saistisme atau positivisme yang telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. Teori kritis mengupayakan mengkaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Teori kritis menurut Horkheimer memiliki emapat karakter, pertama teori ini bersifat histories dengan artian diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konreat dan berpijak diatasnya. Teori ini merupakan kritik immanen terdapat yang nyata dan tidak manusiawi. Kedua, teori kritis disusun berdasarkan dalam kesedaran keterlibatan histories para pemikirnya, dengan maksud mereka menyadari bahwa teori ini dapat terjatuh pada dataran ideology. Misalkan dalam teori tradisional menggatungkan keshahihannya dengan verifikasi empiris. Sedangkan untuk teori ini menggantungkan pada evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. Ketiga teori ini memiliki kecurugaan terhadap masyarakat, dikarenkan dalam teori ini mengupayakan untuk mengurai kedok ideology yang dipakai untuk menutupi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat. Keempat, teori ini menguapakan teori dengan praksis, dengan maksud teori ini mengupayakan untuk melakukan transformasi sosial dan dilakukan lewat praksis.
Teori kritis dalam mengkritik masyarakat modern dilakukan dengan dua cara; pertama, menelusi akar-akar berfikir positivistic masyarkat modern dengan melakukan proses rasionalisasi dalam masyrakat barat. Kedua, menunjukan cara berfikir positivistic yang telah mewujudkn dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlaku sebagai ideology yang diterima sukarela oleh masyarakat modern. Mereka ingin mengkritik masyarakat modern sebagai struktur yang telah menindas, melainkan terlebih cara berfikir positivistiklah yang menjadi ideology dan mitos. Rasionalitas pada zaman ini berfungsi sebagai ideology dan dominasi, dan menjadikan cara berfikir saitis telah membeku menjadi ideology atau mitos. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan mengamdi kepada manusia melainkan manusia yang mengabdi kepada ilmu pengetuan dan teknologi. Menurut mazab ini manusia sekarang tidak ditindas oleh manusia yang lain tetapi ditindas oleh system teknologi mencengkram segenap alamiah dan sosial manusia. Apa yang meeka sebut iu merupakan rasional teknologis, merupakan karakter dari zaman rasional sekarang ini. Pada genrasi pertama mereka mengalami jalan buntu dikarenakn mereka tidak dapat menemukan jalan keluar dari masyarakat yang mereka kritik. Pada teori kritis pertama konsep praksis merupakan kerja dalam pandangan Marxian. Praksis emansipatoris yang mereka lakukan dapat menimbulkan perbudakan baru karena emansipasi penguasaan baru. Oleh karena itu Habermas sebgai generasi kedua menawarkan praksis kdisamaping praksis kerja. Hal tersebut dikarenakan komunikasi msih ada kebebasan sehingga masih ada tempat bagi rasio kritis. Degan ide komuikasi Habermas mengtasi positivisme dengan menunjukan kjeterkaitan antara teori dan praktik. Praksis kerja dan komunikasi merupakan dua tindakan dasar manusia yang menentukan manusia sebgai spesies bergerak dan hidup di dalam duania.
Pengetahuan dan prakis manusia dapat mengarahkan pengetahuan, pertama sebagai spesies manusia memiliki kepentingan untuk mengontrol lingkungan eksternalnya melalui pranata-pranata kerja dan kepentinganingin mewujudkan dirinya dalam pengetahuan informative yang secara metodis disistematikan dalam ilmu empiris analitis. Kedua, manusia memiliki kepentingan praksis untuk menjalin pemahaman timbale balik melalui perantaraan bahasa dan kepentingan ini, mewujudkan dirinya dalam pengetahuan interpretative dan sistematiskan metodis dalam ilmu sosial histories-hermeneutis. Manusia memiki kepnetingan partisipatoris untuk membebskan diri dari hambatan ideologis melalui perantaraan kekuasaan dan kepentingan ini mewujudkan dirinya dalam pengethuan analitis yang disistematiskan ilmu sosial kritis. (Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi).
Matrik Ilmu Sosial Kritis
Parameter
Dimensi kerja
Dimensi komunikasi
Dimensi kekuasaan
Kepentingan
Teknis
Praktis
Emansipatoris
Pengetahuan
Informasi
Interpretasi
Analitis
Tindakan
Tindakan-rasional-bertujuan
Tindakan komunikatif
Tindakan revolusioner- emansipatoris
Ungkapan lingustik
Proposisi-proposisi deduktif nomologis (monologal)
Bahasa sehari-hari, language game, ungkapan-ungkapan dialogal
Pembicaraan emansipatoris
Metodologi
Empiris-analitis
Historis-hermeneutis
Refleksi-diri
Sistematika metodis
Ilmu empiris-analitis (ilmu pengetahuan alam)
Ilmu histories-hermeneutis (ilmu-ilmu pengetahuan sosial budaya)
Ilmu-ilmu kritis
Ilmu sosial kritis jika mau diderivasikan dalam metodologi penelitian, merupakan suatu ilmu yang emansipatoris dan untuk melakukan transformasi sosial. Ilmu ini tidak bebas nilai, berfihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan. Metode penelitain yang digunakan dengan penelitian kualitatif atapun kuantitatif yang penting bukan memaparkan tentang realitas sosial yang terjadi tetapi melakukan perubahan guna tercipta masyarakat yang berkeadilan. Data diperoleh dengan wawancara, observasi atapun dengan angket, serta kuesioner guna melakukan pembacaan awal. Peneliti bersikap partisipatif dengan yang ditelitii dan tidak ada jarak dan langsung memberikan penyadaran dan melakukan refleksi diri sesuai apa yang telah dicita-citakannya.
Ilmu Sosial Profetik
Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan tugas yang berat yang harus diemban agar dapat menjadikan nilai-nilai Islam dapat diterima sehingga Islam sebagai rahmat. Secara kelahirannya ISP merupakan suatu hasil dari pemikiran tokoh yang prihatin melihat realitas sekarang dan mencoba untuk melakukan transformasi guna menciptakan yang lebih baik. ISP sebagai produks dari pemikiran perlu mendapatkan pengkritisan sebagai sarana pembenahan baik segi teori ataupun metodologinya sehingga ISP dapat sejajar dalam paradigma ilmu sosial yang lain. ISP selama ini, merupakan suatu gerilya intelektual dan masih dimiliki oleh kalangan akdemisi tetapi hanya sekedar wacana dan discausce. Pemahaman kalangan akademisi tentang ISP belum dapat disejajarkan paradigma ilmu sosial yang lain. Pemahaman tersebut menjadikan akademisi kurang begitu serius, menjadikan ilmu ini setara dan sejajar dengan paradigma ilmu sosial yang lain bercorak liberal ataupun yang perfeksionis. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang lebih dalam tentang ISP guna dapat merekonstruksinya, agar ISP dapat digunakan untuk melihat dan menyelesaikan problem sosial yang selama ini terjadi. Untuk lebih jauh dapat dilihat pemikiran tokoh yang mencoba melontarkan ISP sebagai alternative dalam teori sosial kontemporer.
Sebagaimana dalam sosiologi pengetahuan ISP sebagai produks dari pemikiran agar tidak membeku, menjadi ideology dan menjadi mitos baru, maka perlu melakukan refleksi diri dan evaluatif. ISP yang telah dilontarkan oleh Kuntowijoyo dalam kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari realitas yang terjadi pada saat itu. Secara sederhana kelahirannya ISP yang digagas oleh Kunto dapat dipetakan menjadi dua macam; pertama interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu sosial sehingga memunculkan respon atau terhadap ilmu sosial yang ada, dan tokoh yang memiliki karakter transformative. Kedua, respon terhadap kondisi realitas (kerangka berfikir atau arus besar pemikiran yang berkembang) sekarang dimana ISP dilontarkan.
Pertama, interaksi Kunto dengan berbagai macam ilmu sosial. Kunto merupakan sosok intelekual yang senang membaca, hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang berkaitan dengan teori perubahan sosial ia sempat juga menggunakan teori sosial dari tokoh Marx, Weber, dan Durkheim. Selanjutnya dalam melihat periodesasi perkembangan umat Islam Kunto menggunakan analisis dari Comte. Setelah melalukan kajian terhadap ilmu sosial, ia mencoba memberikan respon ataupun tanggapan terhadap yang ia kaji. ISP merupakan ilmu sosial alternative terhadap ilmu sosial yang selama ini berkembang cenderung bercorak liberal dan logika positivistic. Sebagaimana dalam era post modernis ilmu sosial saling berevolusi dalam dataran paradigmatic. Begitupula, dengan ISP merupakan kritisi terhadap tiga ilmu sosial yang selama ini berkembang seperti ilmu sosial yang bercorak posiivistik, konstruksionisme yang bercorak liberal dan ilmu sosial yang bercorak kritis memiliki sifat perfeksionis.
Ilmu sosial positivistic, dimana dalam memandang masyarakat bagaikan sebuah system atau struktur. Letak pengkritisian terhadap ilmu ini dalam emandang manusia tidak memiliki kebebasan, individu bersifat deterministic, ilmu ini tidak megupayakan untuk melaklukan transformasi sosial, tetapi ilmu ini lebih cenderung mempertahankan status quo. Ilmu sosial positivistic dipelopori oleh Comte dan di kembangkan oleh Durkheim. Sedangkan untuk ilmu sosial konstruktivis dipelopori oleh Weber, ilmu sosial konstruktivis sama dengan ilmu sosial positivistic ia bersifat liberal. Sedangkan yang membedakan dari ilmu ini, menjelaskan dan memaparkan relaitas sosial itu beragam dan memiliki keunikan tertentu sehingga tidak dapat digenaralkan. Dalam ilmu sosial konstruktivis memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan memiliki kesadaran dan membentuk system. Sedangkan pengkritisian terhadap ilmu kritis yang bersifat perfeksionis, Kunto memaparkan dengan meminjam analisisnya Micheal Root. Bahwa ilmu sosial yang bersifat perfeksinis seperti aliran Marxian, Freudian, dan Feminisme jatuh dalam dataran ilmu yang deterministic. Ilmu tersebut jatuh dalam dataran determinstik dikarenakan seperti Marxian mengandung determinisme ekonomi, Freudian dalam determinisme biologis sedangkan feminisme mengalami determinisme seksual. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid). Melihat ilmu sosial yang berkembang di era sekarang maka ia menawarkan ISP sebagai ilmu yang serat nilai, berfihak dan mengupayakan transformasi sosial, seperti ilmu sosial kritis yang telah digagas oleh Mazhab Frankfurt yang telah dikembangkan oleh Jurgen Habermas.
Interakasi Kunto dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhinya seperti Moeslim Abdurrahman, Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Moeslim Abdurrahman dengan pemikiran teologi trasformatif, dalam hal ini Kunto lebih memilih ilmu sosial dari pada teologi. Hal tersebut dikarenakan akan membingungkan dan kurang cocok diterjemahakan, bila menggunakan teologi maka dapat memunculka teologi yang lain seperti teologi pembebasan, teologi lingkungan dan yang lain. Sedangkan pemahan umat tentang permasalah teologi merupakan yang tetap tidak berubah, oleh karena itu ia lebih memakai ilmu sosial. Lagian pula, teologi transformative yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman lebih tetapi diterjemahkan dalam ilmu sosial transformative. Pergatian dari teologi dalam ilmu sosial, hal ini dikerenakan jika gagasan pembaharuan teologi agar agama diberi tafsiran baru dalam rangka memahami realitas sosial, metode yang efektif yang dimaksud dalam rangka mengelaborasi ajaran agama kedalam suatu teori sosial. Lingkup dari sasaran ilmu sosial tersebut lebih dari rekayasa untuk transformasi sosial. Lingkup bukan dalam dataran permanent seperti teologi, tetapi aspek yang temporal, empiris dan histories. Maka kunto lebih cenderung menggunakan ilmu sosial ketimbang teologi. Kebutuhan yang dilakukan dalam trasformasi sosial bukan saja perangkat yang bersifat objektif, tetapi melalui teori sosial dapat melakukan transformasi bersifat objektif dan juga merupakan lahan garap yang bersifat empiris.
Interaksi Kunto dengan Muhammad Iqbal. Kunto mengambil kata profetik ia mendapatkan gambaran tetang konsep kesadaran profetis yang dilontarkan oleh Iqbal dalam bukunya Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam. Muhammad Iqbal menggambarkan tentang mi’rajnya Nabi Saw, yang bertemu dengan Tuhan, seandainya nabi seorang mistikus atau sufi, ia pasti tidak akan kembali karena sudah tentram dan tetang bersama-Nya. Tetapi ini lain, Nabi kembali ke bumi untuk melakukan perubahan dalam rangka merubah sejarah melakukan transformasi profetik. Selanjutnya kata profetik juga terinspirasi dari seorang Filosof Prancis Roger Garaudy dalam bukunya Janji-Janji Islam, disana dipaparkan bahwa peradaban Barat tidak memuaskan dikarenakan terombang-ambing dalam kedua kutub besar yakni idealisme dan materialisme. Filasafat barat (kritis) lahir yang mempertanyakan bagaimana pengetahuan intu dimungkinkan , lalu ia mengusulkan agar membalik pertanyaan agar bagaimana wahyu dimungkinkan. Dalam rngka untuk menghindari kehancuran peradaban maka pilihan satu-satunya agar menggunakan kembali warisan Islam (filsafat kenabian). Filasfat barat telah “membunuh” Tuhan dan manusia, maka ia menganjurkan untuk menggunakan filsafat kenabian dan mengakui wahyu sebagai salah satu dari sumber kebenaran.
Kedua, kondisi realitas sekarang. Realitas sekarang merupakan zaman post modernism. Sebagaimana dalam tradisi modernism yang muncul dari abad pertengahan pada masa pencerahan yang ditandai dengan lontaran dari seorang filosof Prancis Rene Descartes dengan semboyannya catigo ego sum. Menurut Kunto dalam zaman pencerahan yang berkembang menjadi modernisme terdapat dua ciri yang penting dan yang membedakan dengan era post modernism. Pada zaman modern merupakan kerangka berfikir sekuleristik, memandang dengan differentiation (pemisahan) dan terjadinya humanisme antroposentris. Kerangka pikir sekuleristik mencoba memisahkan dengan tegas antara agama dengan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan Negara. Modernisme yang dikumandangkan humanisme antroposentris berkembang bukannya telah memberikan kemerdekaan terhadap manusia tetapi sebaliknya, yang terjadi sampai sekarang adalah dehumanisasi. Dehumanisasi dikarenakan manusia dengan menciptakan ilmu pengethuan dan teknologi yang memiliki tujuan utama untuk mempermudah manusia, tetapi sekarang manusia terjebak oleh system yang telah dibuat menjadikan manusia telah diperbudak oleh system dan teknologi itu. Sebagaimana yang telah dikemukaka oleh Mazhab Frankfurt kerangka pikir modernisme menjadi rasional teknokratis atau dalam bahasa Herbert Marcus menjadi manusia satu dimensi.
Realitas sekarang merupakan era post modernisme dimana dalam zaman ini merupakan kritik terhadap modernism dan patologi yang dihadapinya. Post modernisme memiliki cirri yang penting adalah de-differentiation. Post-modernism merupakan penyapaan kembali antara agama dan ilmu pengethuan dan tidak berdiri sendiri atau terpisah. Agama sebagai ispirasi dan sumber nilai/etik dari ilmu pengetahuan. Penyapaan terhadap agama dari ilmu pengetahuan ini yang mencoba melakukan integrasi antara ilmu dengan agama guna menjawab problem modernitas dimana terjadinya dehumanisasi dan kerusakan ekologi. Melihat era sekarang maka ISP memiliki peluang agar dapat diterima sebagai salah satu disiplin ilmu dikarenakan ISP mencoba melakukan integrasi antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama menjadikan nilai untuk melakukan transformasi sosial dan pengintegrasian nilai-nilai agama dalam masyarakat sehingga betuk transformasinya pun ada arahan kemana transformasi itu akan dibawa. Dengan ISP sebagai alat transformasi sedangkan bentuk transformasinya merupakan transfomasi profetik guna mewujudkan Khoirul Umat.
Cita-cita dalam ISP merupakan jawaban dari ilmu sosial transformative dikarenakan dalam ISP bukan saja menjelaskan bagaimana transformasinya tetapi untuk apa, oleh siapa dan diarahkan kemana dalam transformasinya, sedangkan dalam ilmu sosial transformative memiliki jawaban yang kurang jelas. ISP bukan hanya alat untuk melakukan transformasi tetapi diarahkan sesuai dengan cita-cita dan etis profetis. Cita-cita profetis dalam ISP mrupakan apa yang telah diidamkan oleh masyarakatnya. Cita-cita profetis diderivasi dari surat al Imran 110.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah Swt” (QS. al Imran; 110).
Menurut Kunto ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut; pertama merupakan konsep umat yang terbaik, kedua aktivisme sejarah, ketiga pentingnya kesadaran, dan keempat etika profetik. Pertama خَيْرَ أُمَّة)ٍ ) konsep umat yang terbaik bagi Islam merupakan mengerjakan ketiga hal tersebut dalam ayat bukanlah sekedar hadiah dari Tuhan. Tetapi konsep umat yang terbaik ini merupakan tantangan agar aktif dan bekerja keras dalam sejarah. Kedua أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ)) aktivisme sejarah merupakan bentuk kerja keras ditengah umat manusia dan keterlibatan umat Islam dalam menentukan sejarah. Sebagaimana dalam ajaran Islam yang menekankan bahwa Islam merupakan agama amal, jadi pengetahuan yang didapatkan harus ditransformasikan bukan hanya untuk diri tetapi untuk orang lain. Ketiga pentingnya kesadaran. Kesadaran dalam Islam merupakan bentuk kesadaran yang berbeda dengan Marxisme. Bentuk kesadaran dalam Islam nilai-nilai Ilahiah menjadi tumpuan dalam melakukan aktivisme sejarah. Kesadaran tersebut bersifat idependensi yang bertumpu pada Tuhan bukan kepada struktur atapun kepada manusia. Kesadaran yang ditekankan pada struktur atau individu menjadikan bentuk kesadaran dalam Marxisme maka yang terjadi merupakan dalam bentuk individualisme, eksistensialisme, kapitalisme, dan liberalisme. Keempat tetang etika profetik yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Etika profetik merupakan pelaksanaan secara integral dari (تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِالله)ِ yang oleh Kunto diterjemahkan menjadi; humanisasi, liberasi dan trasendensi.
Pilar ISP
ISP dalam pembacaan dan pengalisaan terhadap realitas sosial memiliki tiga ranah alat pandang, dimana alat pandang tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Pilar ISP merupakan bagaimana ISP dihadapkan pada realitas empiris, sehingga pendekatan yang digunakan oleh ISP pun bersifat empiris analitis dengan menghadapkan al Qur’an dengan realitas sosial seperti industrialisasi, kelas sosial dan permasalahan yang lain. Penelitian yang dilakukan bersifat partisipatoris, grounded research. ISP memiliki iga pilar yag diderivasi dari surat al Imron 110 yakni tafsirn kreatif dari Kunto (1) تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ menjadi humanisasi, (2) َتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ menjadi liberasi, dan (3) َتُؤْمِنُونَ بِاللهِ menjadi trasendensi.
Humanisasi.merupakan semangat dari peradaban Barat yang percaya pada the idea of progress, demokrasi, HAM, Liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme dan selfshnees. Humanisasi merupakan proses pemanusiaan manusia dalam bahasa agamanya mengembalikan posisi manusia pada fitrahnya. Proses humanisasi merupakan jawaban dari patologi masyarakat modern yang mengalami dehumanisasi yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan informasi. Manusia terjerat dengan teknologi sehingga manusia mengabdi untuk teknologi, bukannya teknologi yang mengabdi kepada manusia. Manusia pada masyarakat modern dengan kerangka pikir rasional teknokratis sehingga menjadi manusia satu dimensi, jatuh dalam dataran kehinaan dan menghilangnya sisi atau dimensi manusia yang lain. Oleh karena, itu Kunto mencoba melakukan humanisasi yang berdasar kepada agama, dimana merujuk iman dan amal soleh. Hal ini seperti diungkapkan dalam surat at Tin ayat 5-6 bahwa manusia jatuh kedalam tempat keterhinaan, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Pengembalian kemualiaan manusia yang terjatuh pada kehinaan dengan mengembalikan manusia pada fitrahnya, sehingga dapat memenuhi semua dimensi yang dimiliki oleh manusia. Pemenuhan semua dimensi yang ada pada manusia ini, menjadikan posisi manusia tidak seperti masyarakat modern yang menafikan salah satu dimensi yang ada pada manusia. Humanisme yang dilontarkan oleh ISP merupakan pengkritisian humanisme barat (humanisme antroposentris), yang menyebabkan majuanya peradaban barat tetapi sekarang mereka mengalami dehumanisasi. Humanisme yang ditwarkan oleh ISP humanisme yang didasarkan pada agama jadi humanisme teo-antroposentris. Gagasan humanisasi tersebut diterjemahkan dalam teori sosial menjadi ilmu sosial yang menggunakan pendekatan structural fungsional. Gagasan structural fungsional ini yang telah dilontarkan oleh Kunto mencoba menggabungkan teori fungsional dengan menggunakan pendekatan grounded research dalam penelitiannya. Analisis yang digunakan oleh Kunto dalam karyanya memandang persolan masyarakat menggunakan pendekatan makro atau struktur dan dalam humanisasi lebih cenderung menggunakan teori sosial fungsional dan menggunakan pendekatan interpretative dalam memandang manusia.
Liberasi. Liberasi dalam ISP selaras dengan berbagai teori sosial yang bercorak partisipatif dan membawa etik tertentu, seperti prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan dan teologi pembebasan) yakni semua membawa pada liberation. Mereka mempercayai bahwa perkembangan dapat dicapai dengan kebebasan. Libersi yang ditawarkan oleh ISP dalam dataran ilmu buka dalam dataran ideologis. Liberasi yang ditawarkan oleh Kunto dalam ISP paling tidak empat ranah seperti bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik dalam ranah system ilmu pengetahuan. Liberasi system ilmu pengetahuan dapat membebaskan manusia dari system pengahuan materialis, dominasi struktur misalkan kelas dan seks. Hal ini, Islam memandang kesetaraan antara lak-laki dan perempuan. Libeasi dari system sosial budaya merupakan transformasi sosial umat Islam yang berkembang dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Oleh karena itu, dalam transfomeasi tersebut diperlukan ilmu sosial yang bersifat communitarian. Liberasi dalam ekonmi bagaimana menciptakan suatu system ekonomi yang bercorak keadilan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi. Penggagasan tentang keadilan ekonomi merupakan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Hal ini sebagaiman telah diungkapka dalam al Qur’an dalam surat al Hasyr; 7 “supaya harta tidak hanya beredar diantara orang-orng yang kaya diantara kamu”, selanjutnya dalam surat al Zukhruf; 32 “apakah mereka yang berhak membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”. Liberalisme dalam politik membebaskan dari system perpolitikan yang tidak adil dan terjadinya penindasan seperti system otoriterianisme, dictator dan neofeodalisme. Liberasi dalam ISP ini dapat diterjemahka dalam ilmu sosial selaras dengan pendekatan Marxisme. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang telah digunakan oleh Kunto dalam memandang tertentu seperti persolan kemiskinan ia lebih cenderung memakai Marxian, tetapi bukan dalam dataran penghapusan kelas tetapi agar bagaimana tercita struktur yang berkeadilan.
Transendensi. Trasendensi dalam ISP merupakan menjiwai dari kedua unsure. Ia menjadi prinsip dalam semua agama dan filsafat perennial. Trsendensi merupakan kunci beriman kepada Allah, yang menjadi ruh alam humanisasi dan liberasi dalam melihat dan pengaplikasian dari ISP. Menurut Erich Fromm jika tidak menerima otoritas Tuhan secara otomatis akan berdampak pada; (1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya merupakan urusan pribadi. (2) nilai tergantung pada masyarakat sehingga yang dominant akan menguasai. (3) nilai tergantung pada kondisi biologis. Oleh karena itu, menurut Kunto agar umat Islam meletakan Allah sebagai pemengang otoritas, Tuhan yang maha objektif. Trasendensi yang dimaksudkan oleh Kunto dalam ISP merupakan penggunaan wahyu sebagai salah satu unsure dalam ilmu sosial. Pradigma wahyu digunakan dalam ilmu sosial yang dilakukan oleh Kuno dengan melalui objektifikasi terhadap ayat-ayat al Qur’an agar kebenaran yang didalamnya dapat diterima oleh seluruh manusia. Objektifikasi merupakan upya rasionalitas nilai yang diwujudkan dalam perbuatan rasional, sehingga orng laur dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai asalnya. Melalui objektifikasi menjadikan Islam yang bekerja secara aktif, sehingga menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dalam artian Islam diturunkan sebagai rahmat kepada siapa pun tanpa memperhatikan warna kulit budaya dan sebagainya. Objektifisikasi merupakan konkritisasi dalam kenyakinan internal, perbuatan ini dapat objektif jika dapat dirasakan oleh non muslim sebagai suatu a natural atau wajar, tidak sebagai perbuatan keagamaan. Kunto mencontohkan tentang objektifisakasi ayat al Qur’an agar nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua umat manusia. Misalkan ancaman Tuhan kepada orang Islam sebagai orang yang mendustkan agama bila tidak memperhatikan kehidupan orang-orang miskin dapat diobjektifkan dengan program IDT. Kesetiakawanan nasional adalah objektifikasi dari ajaran tentang ukuwah. (Kutowjoyo, Identitas Politik Umat Islam).
ISP yang dilontarkan oleh Kunto diterjemahkan dari sifat ilmunya maka ISP bersifat partisipatoris untuk melakukan perubahan dan sekaligus arah dari perubahan itu sendiri. Ilmu ini serat dengan nilai-nilai, tidak status quo, dan berfihak kepada kemunisaan guna menciptakan khoirul ummat. ISP ilmu dalam aliran yang perfeksionis dan bersifat communitarian. Dalam metodologi penelitian ISP yang diharapkan penelitian lapangan dan langsung melakukan emansipasi guna menciptakan keadilan. Cara pencarian data yang dilakukan IS dengan metode wawancara dan observasi partisipatoris. ISP merupakan turunuan dari surat al Imran 110 menghasilkan tiga paradigama guna mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi masing-masing paradigama dalam ISP yang dalam memandang masyarakat bersifat integral dan menyeluruh, jika diturunkan dalam metodologi penelitian maka dapat berdiri sendiri tanpa adanya saling sapa. Kunto hanya mencoba dalam analisis dengan menggunakan ketiga paradigama tersebut, tetapi ia terkadang dalam melihat fenomena sosial cenderung dengan pendekatn Marxian kadang juga fungsional. Selanjutnya dalam ilmu sosial yang bersifat partisipatoris ada rangkaian dalam menjalankan keseimbangan antara teori dan praktek seperti dalam ilmu sosial kritis, dalam konsep praksisnya kerja dan komunikasi. Jika mau ditarik kedalam ISP Kunto belujm sempat merumuskannya. Tetapi jika ditelusuri dari berbagai karyanya ia mencoba mengintergrasikan ilmu sosial yag dari barat dengan nilai-nilai Islam. Hal ini seperti urainnya Heru Nugroho dalam menanggapi ISP yang dilontarkan oleh Kunto, ia mengatagorikan Hegelisme Religius. Serta yang membedakan konsep ISP dengan ilmu sosial Kritis adalah trasendensi. Kunto juga dalam melihat slam merupakan agama amal, bukannya teori saja tetapi harus diterapkan dalam masyarakat. Dari tujuan serta yang berada dalam konsep ISP dapat dilihat konsep praksis dari ISP ada merupakan praksis kerja, komuniksi dan praksis manusia sebagai mahluk Tuhan. 

1 komentar:

  1. Play Online Casino Games For Real Money - Shootercasino
    Play Online Casino 제왕카지노 Games For Real Money. The best online casinos to play slot games หารายได้เสริม and casino 바카라 games for real money. Enjoy the many real money

    BalasHapus