Powered By Blogger

Sabtu, 14 Januari 2012

PRADIGMA CINTA

PRADIGMA CINTA
Pendidikan harus mendasari jiwanya dengan cinta. Dasar cinta itu bukan mengharapkan pemberian dari pihak yang kita cintai, tetapi kita selalu berusaha untuk memberikan sesuatu kebutuhannya dan membahagiakan mereka. Cinta itu bukan take and give tetapi give and give. Seorang guru sebagai pelaku pendidikan harus menjadi pelayan terbaik bagi murid-muridnya. Karena salah satu komponen mencintai adalah melayani dan memberi.
Dulu penulis sering menyaksikan bagaimana guruuring-uringan kepada muridnya karena proses belajar mengajarnya diliputi dengan keriuhan dan kegaduhan siswa. Sehingga seorang guru bisa saja kecewa karena apa yang beliau sampaikan tidak diperhatikan. Guru tidak berfikir sebab apa murid itu memperhatikan dan sebab apa pula ia mengacuhkan keterangan guru. Dalam ilmu komunikasi selalu mengatakan bahwa seandainya seorang komunikator tidak diperhatikan oleh komunikan, maka bukan komunikan yang harus disalahkan, tetapi seorang komunikatorlah yang kurang kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran.
Kreatifitas penyampaian mata pelajaran telah banyak dicontohkan para penemu metode pengajaran. Diantaranya beberapa guru Taman Pendidikan Anak-anak di Jogjakarta yang banyak memakai metode mendongeng (telling story) dalam menyampaikan materi pelajaran, khususnya untuk pelajaran akhlaq dan tarikh. Mendongeng pun tidak hanya sekedar mendongeng. Tetapi ia harus memakai bahasa anak-anak yang jenaka, dan sering kali penuh ekspresi, karena yang dihadapi anak seusia Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar. Anak-anak tidak membutuhkan dongeng anda itu logis, tetapi mereka bisa menangkap kalau dongeng itu diekspresikan sesuai lakon dongengnya. Misalnya ia menceritakan tentang Halimatus Sa’diyah yang turun gunung pada ‘musim menyusu’ dengan kesengsaraan karena keledai yang dijadikan tumpangannya sangat lemah, maka pendongeng juga harus mengekspresikan bagaimana keledai berjalan dengan lemah dan sesekali pendongeng meringik ala keledai.
Pengalaman penulis yang mempraktekan ekspresi itu disambut tawa para santri yang belia. Sehingga mereka pun tak mau terhalang pandangan matanya kepada Ustadz si pendongen. Bahasa manusia adalah bukan bahasa lisan semata, tetapi semua bagian tubuh mempunyai bahasanya sendiri, sehingga kadang tanpa gerak lisanpun ekspresi tubuh bisa menyampaikan pesan kepada para audien. Anda pernah lihatkan bagaimana pementasan pantomin tanpa kata, tetapi bisa mengobral beratus makna kepada yang menyaksikannya?
Kunci untuk menyampaikan pelajaran dengan sukses adalah kita harus empati kepada si penerima pelajaran. Seandainya pendengar adalah anak-anak maka kita sebagai pengajar harus memakai bahasa anak-anak yang



Paradigma-Paradigma Penelitian Dalam Ilmu Sosial

Paradigma-Paradigma Penelitian Dalam Ilmu Sosial

Tulisan ini membahas Paradigma – paradigma Penelitian dalam Ilmu Sosial. Adapun paper ini ditulis berdasarkan sumber yang relevan dari buku – buku  seperti The Paradigm Dialog oleh Egon G. Guba danTeori Sosial Postmodern oleh George Ritzer.
Paradigma – paradigma Penelitian dalam Ilmu Sosial antara lain ; Positivistic, Post Positivistic, Critical Theory, Constructivism, dan Postmodernism.
·     Positivistic
Dasar dari positivistic adalah ontologi yang realist, dimana paradigma ini menganggap bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas nilai. Ada tiga dasar dari paradigma positivist menurutEgon G Guba, yakni:
1.       Ontology : Realist- reality exist ‘’out there’’ and is driven by immutable natural laws and mechanisms. Knowledge of these entities, laws, and mechanisme is conventionally summarized in the forma of time, and context-free generalizations. Some of these latter generalizations take the form of cause-effect laws.
2.       Epistemology : Dualist/Objectivist, it is both possible and essential for the inquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Values and other biasing and confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the outcomes.
3.       Metodology: Experimental/manipulative, questions and/or hypotheses are stated in advance in propositional form and subjected to empirical  test. (falsification) under carefully controlled conditions. Postpositivisme
·     Postpositivis
Postpositivis adalah bentuk perbaikan atau modifikasi dari positivis. Paradigma ini yang menolak ide-ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas nilai. Esensi paradigma ini dengan kehadirannya sebagai realism kritis, Secara Ontologi, dinyatakan dalam tulisannya Cool & Campbell( 1979: 29) menyatakan, ‘’walaupun dunia yang nyata ada karena keberadaan alam, ini tidak mungkin bagi manusia untuk merasakannya dengan ketidaksempurnaan panca indera dan mekanisme yang intelec.’’(‘’although a real world driven by real natural causes exists, it is imposible for humans truly to perceive it). Secara epistemology, postpositivis melihat perlu adanya modifikasi objektivitas, dimana ketepatan objektivitas adalah peraturan yang ideal tetapi sesungguhnya ini tidak dapat diterima oleh pikiran orang lain. Secara metodologi, postpositivis menetapkan dua tanggapan untuk memunculkan penolakan, yang pertama, didalam ketertarikan menyesuaikan diri untuk bertanggung jawab sebagai realisme kritik dan memodifikasi subjektivitas, penekanannya terletak pada multiplisme kritis yang berguna sebagai penguraian triangulasi. Yang kedua, postpositivisme mengakui bahwa banyak ketidakseimbangan diizinkan muncul untuk mencapai realistis dan penelitian objektif. Jadi, agenda utama dari pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi ketidakseimbangan ini dan emngusulkan cara untuk perbaikan dalam hal itu. ada 4 ketidakseimbangan, antara lain: (1) ketidakseimbangan diantara kelakuan dan relevansinya. (2) ketidakseimbangan diantara keseksamaan(ketelitian) dan kesempurnaan.(3) ketidakseimbangan diantara kemewahan dan penerapannya, serta (4) ketidakseimbangan diantara penemuan dan verifikasi(pembuktian).
·     Critical Theory
Teori kritis dikenal juga dengan idealis, dimana teori ini melakukan penolakan terhadap klaim kebebasan nilai yang dibuat oleh positivisme. Aliran ini telah memilih untuk percaya pada realitas objektif. Hal ini menyiratkan bahwa ada kesadaran yang sebenarnya disuatu tempat diluar sana atau mungkin lebih dirasuki oleh peneliti.
Bagi teori kritis, pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral baik secara moral maupun politik ataupun ideologi, dimana tiap pengetahuan mencerminkan kepentingan para pengamatnya.
Teori kritis ini konsisten dalam pandangan metodologi. Secara ontologi, paradigma ini bersifat kritikal realist, sebagai kasus pada postpositivism, sedangkan secara epistemologi, bersifat subjektif, dan secara metodologinya bersifat dialog, transformative.
·     Constructivism
Menurut paradigma ini Positivsm dan postpositivisme sangat cacat, dimana mereka secara keseluruhan harus diganti. Aliran ini menyatakan bahwa penelitian merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia. Adapun argumen – argumeb pada paradigma ini antara lain: (1)Teori  – teori ini memuat fakta, fakta yang dikumpulkan harus bebas dari proposisi (hipotesis dan pertanyaan) (2) dibawah ketentuan teori, tidak ada teori yang bisa sepenuhnya menguji oleh karena masalah induksi, realita disini hanya dapat dilihat melalui jendela teori baik secara implisit ataupun eksplisit.(3) nilai yang bersumber dari fakta, Kontruktivis setuju dengan argumen yang ideologis bahwa penyelidikan tidak bisa bebas nilai. If ‘’reality’’ can be seen only through a theory window, it caan equally be seen only through a value window.[1] (4) interaksi alam pada penyelidikan.
Paradigma constructivism merupakan manifestasi dari research about people. Paradigma ini berasumsi bahwa setiap manusia memiliki construct (bangunan “kebenaran”) dan construe (cara memahami “kebenaran”) yang berbeda-beda. Dengan demikian akan menjadi daya tarik yang besar bagi suatu penelitia, apabila dapat mengenali construct dan construe
·     Postmodernisme
Postmodernisme pertama kali dikenalkan olej Jean Francois Lyotard (1984).Secara bahasa, post berarti suatu keadaan yang menunjukan lewat, lepas, terpisah, dan terputus. Sedangkan modernisasi adalah proses yang membarukan atau modern bahkan mutakhir. disini postmodernism bukan sudah melewati batas modernisasai atau tidak modern lagi. namun, postmodernisme adalah bagian inheren atau turunan dari modernitas, sehingga ada korelasi positif antara keduanya. Postmodernisme tampil lebih dengan teriakan ‘nada protes’ di tengah kompleksitas modernitas utopis yang telah terlanjur ditelan oleh mereka yang mengaku ‘’modern’’.[2]
Dalam beberapa literatur, asal – usul istilah postmodernisme pertama kali digunakan oleh Federico de Onizpada tahun 1930-an untuk menyebut suatu periode pendek dalam mengindikasikan reaksi kecil terhadap modernisme dibidang sastra khusunya puisi spanyol dan Amerika latin. Oniz menyebut tahap modernisme awal antara tahun 1896 – 1905, dan tahap postmodernisme antara tahun 1905 – 1914 yang disebut ‘’periode intermezzo’’ atau pertengahan.
Arnold Toynbee(1947) memaknai postmodernisme sebagai masa yang ditandai, dengan perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan. Sedangkan dalam (kumar, 1995: Jameson, 1991), Postmodernisme merujuk pada produk kultural yang terlihat berbeda dari produk kultural modern. Jadi dapat disimpulkan bahwa postmodern meliputi suatu epos historis baru, produk kultural baru, dan tipe teoretisasi baru mengenai dunia sosial.
Kaum posmodernis adalah kaum dekonstruktivis. Naratif, termasuk metanaratif (pemikiran seperti neorealisme atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran dunia sosial), selalu dikonstruksi oleh seorang teoritisi, dan mereka dengan demikian selalu dikontaminasi oleh pendirian dan praduga mereka.[3]
Dalam pandangan postmodernisme, karakter yang dianggap baik lahir dari aktivitas sosial masyarakat. Jadi dapat disimpulkan, apa yang baik menurut suatu kelompok tertentu, belum tentu baik menurut komunitas yang lainnya. Dimana sifat yang biasa dipakai oleh pandangan postmodernisme ini ialah relativisme, dimana segala sesuatu itu tidak bersifat mutlak.Postmodernisme dibentuk oleh antiesesialisme, antifondalisme, antirealisme penolakan terhadap gambaran pengetahuan sebagai representasi yang akurat.
Kesimpulan
Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian ilmu sosial terdapat lima paradigma yakni Positivism, Postpositivism, Konstruktivisme, Teori Kritik dan Postmodernisme. Menurut Aliran Positivis, paradigma ini menganggap bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas nilai, sedangkan Aliran Postpositivisme muncul dari modifikasi aliran positivis yang menolak anggapan dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas nilai, walaupun dunia yang nyata ada karena keberadaan alam, ini tidak mungkin bagi manusia untuk merasakannya dengan ketidaksempurnaan panca indera dan mekanisme yang intelec, namun harus dilengkapi dengan penggunaan metode dan teori.sedangkan Teori Kritis juga melakukan penolakan terhadap anggapan kebebebasan nilai yang dibuat oleh positivisme, dimana teori ini menempatkan bahwa posisi peneliti dan objek kajiannya terpisahkan yang menerapkan sistem subjektivis. Sedangkan Paradigma Konstruktivisme menganggap bahwa Positivis dan Postpositivisme perlu didanti secara keseluruhan karena kecacatannya, dimana Constructivism berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Dan paradigma terakhir adalah Postmoderism yang merupakan perkembangan dari konstruktivis, yang terbentuk dari antiesesialisme, antifondalisme, antirealisme penolakan terhadap gambaran pengetahuan sebagai representasi yang akurat.






Referensi

Jakson, Robert dkk. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Guba, G Egon. 1990.  The Paradigm Dialogue.  USA : SAGE Publication
Ritzer, George. 2005. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta

 Egon  G Guba, The Paradigm Dialogue, (USA : SAGE Publication, 1990), hal. 25
 George Ritzer, Teori Sosial Postmodern,( Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta, 2005), hal.v-vi
 Robert Jakson & George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, ( Yogyakarta:  Pustaka Pelajar,  2005), hal. 304

Jumat, 13 Januari 2012

TEORI SOSIOLOGI MODERN


MANUSIA adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia bisa menjadi subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir, menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan cara-cara berbeda.
Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri, sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan diri sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi.
Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada saat itu juga ia memberikan ‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.
Jika seseorang secara konsisten ditertawakan dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu yang lain yang dia anggap pada dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap diabaikan –terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia akan sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang dibincangkan dalam dalam teori interaksionisme simbolis.
Riyadi Soeprapto (2002), “Teori Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern” (241 Hlm)
http://www.averroespress.net/press-corner/katalog-buku/326-teori-interaksionisme-simbolik-perspektif-sosiologi-modern.html
1. Positivisme memilikin beberapa ciri-ciri, yaitu:
a. Membahas segala sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya dan dapat dirasakan oleh panca indra.
b. Membahas melalui pengalaman dan kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah.
c. Fakta yang ada tidak berkaitan dengan nilai.
d. Objek memiliki nilai dan manfaat
2. Kelemahan konvensionalisme adalah diantaranya konvensionalisme dianggap berlawanan dengan real atau kenyataan dan hanya melihat melalui makna, ide dan intepretasi. Maka teori ini dapat dikatakan teori yang bersifat ilusionis karena hanya memikirkan makna yang terkandung saja. Teori ini juga selalu dapat berubah-ubah menyesuaikan perkembangan jaman.
3. Realisme adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa inti dari segala sesuatu berdasarkan dengan kenyataan yang ada.
4. Konvensionalisme sendiri melihat segala sesuatu berdasarkan pada makna, ide dan intepretasi. Sedangkan positivisme melihatnya berdasarkan kenyataan saja. Maka menurut konvensionalisme, positivisme dianggap tidak dapat melihat makna dibalik kenyataan itu sendiri. Positivisme hanya dapat melihat suatu masalah melalui konsep, teori dan hukum.
5. Menurut Anthony Giddens, modernitas ialah suatu tatanan pasca masyarakat tradisional, meski di dalamnya keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan rasional belum menggeser kemantapan dan kedamaian jiwa yang diperoleh dari tradisi dan norma-normanya. Sedangkan menurut istilah modernitas yaitu adanya perubahan dengan memperhatikan adanya perubahan jaman, sosial, ekonomi dan budaya.
Ciri-ciri modernitas adalah linier, sirkuler dan alam sebagai objek sedangkan manusia sebagai objek
6. Manusia dapat menemukan modernisasi saat manusia sudah sadar bahwa dirinya sebagai subjek yang berfikir. Namun modernitas cenderung menempatkan manusia hanya sebagai objek dan bukan subjek. Manusia bukan lagi sebagai pelaku perubahan dalam pusaran modernisasi tersebut. Tapi lebih sering terseret dalam jaring-jaring modernisasi yang menumpulkan kesadaran kritisnya.
7. Rasio dapat menciptakan modernitas. Dimana dengan rasio yang kuat dapat dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi sarana untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk memajukan rakyat banyak. Namun rasio yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk. Maka harus diseimbangkan antara rasio dan rasa.
8. Akal budi pencerahan disebut juga sebagai nalar. Akal budi pencerahan adalah usaha dari manusia untuk mencapai pengertian rasional dirinya dan makna emasipatoris (pembebasan manusia berdasarkan kedaulatannya).
9. Kritik Horkheimer dan Adorno mengenai akal budi pencerahan, dimana pencarian akan akal budi pencerahan ini akan membuat pengaruh jangka panjang yang buruk seperti rasionalitas dan penindasan serta menetang hak asasi. Pencerahan tersebut hanya dapat dinikmati oleh dirinya sendiri. Pencerahan merupakan proyek penyingkiran mitos-mitos dalam akal budi telah melahirkan cara berfikir yang disebut rasio kritis.
10. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan teori ideologis. Dimana teori ini berusaha untuk memecahkan segala fenomena dan masalah yang ada. Teori ini bersifat netral, ahistori dan tidak adanya kesatuan antara teori dan praxis.
Contoh teori tradisional adalah teori suicide (bunuh diri) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Karena teori ini hanya mengupas luarnya saja, tidak sampai begitu mendalam.
11. Teori kritis adalah sebuah perspektif teoritis yang elektik dan sumber pemikirannya bisa diambil dari pemikir-pemikir sebelumnya dan disatukan dengan teoritis yang sama. Teori kritis lebih kepada mengkritisi dan mencari kelemahan dari suatu teori untuk kemudian diformulasikan menjadi teori yang kuat.
12. Kritik (dalam KBBI) adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Kata kritik diturunkan dari bahasa Yunani Kuno yaitu krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”.
13. Akal budi instrumental adalah akal budi atau rasio yang menekankan diri sebagai alat sarana demi membuahkan guna.
14. Menurut Horkheimer dilema usaha rasional manusia itu adalah terbenamnya akal budi objektif dan digantikan akal budi yang melulu instrumentalis. Dimana manusia mencoba sadar dan mencari rasionalitas untuk mencapai suatu tujuan secara terus menerus namun pada akhirnya manusia tersebut hanya kembali kepada irrasionalitas.
15. Strukturalisme adalah sebuah pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi. Strukturalisme merupakan krangka berfikir dari banyak pemikiran-pemikiran modern.
Contoh konkrit dari strukturalisme adalah sistem bahasa di masyarakat.
16. Menurut Foucault, pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Pengetahuan adalah keinginan untuk tahu / mengetahui yang berkaitan dengan proses dominasi atas obyek-obyek yang berkaitan dengan manusia.
17. Foucault mengemukakan bahwa pengetahuan dilahirkan atas kuasa. Namun kuasa sendiri mempunya efek kuasa. Dimana kuasa berkembang sesuai dengan perkembangan kuasa.
18. Fungsi arsip : mengumpulkan pernyataan-pernyataan untuk dapat dibakukan.
Fungsi regulasi : membuat norma-norma dari arsip yang sesuai dengan masyarakat.
Fungsi normalisasi: menyesuaikan antara norma dengan masyarakat melalui umpan balik (feedback) dari masyarakat itu sendiri.
19. Menurut Derrida pemikiran “ada” sebagai kehadiran yang juga disebut olehnya sebagai metafisik. Selain itu kehadiran dihubungkan dengan tanda untuk menggantikan yang tidak hadir dan tanda sebagai bekas. Jika dihubungkan, kehadiran timbul sebagai efek bekas. Kumpulan hubungan tersebutlah yang disebut “teks” oleh Derrida yang selalu berkaitan dengan teks yang lain.
20. Teori kritis digunakan untuk menguji suatu pendapat. Selain itu mengetahui kebenaran dari suatu pendapat, sebagai penyeimbang dari teori-teori yang ada.
http://marthinoes.blogspot.com/2009/07/pertanyaan-teori-sosiologi-kritis.html
IBNU Khaldun mencetus pemikiran baru apabila menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.
Beliau juga berpendapat institusi masyarakat berkembang mengikut tahapnya dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran.
Pandangan Ibnu Khaldun dikagumi tokoh sejarah berketurunan Yahudi, Prof Emeritus Dr Bernerd Lewis yang menyifatkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah Arab yang hebat pada zaman pertengahan.
Felo Amat Utama Akademik Institut Antarabangsa Pemikiran dan Ketamadunan (Istac), Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Muhammad Uthman El-Muhammady pula melihat pendekatan Ibnu Khaldun secara sejagat.
Sumbangan Ibu Khaldun, perintis ilmu sosiologi moden dapat disaksikan melalui siri Ilmuwan Islam di TV3, malam ini.
Episod kali ini yang diterbitkan Mohd Fasil Mohd Idris, bakal membawa penonton mengenali lebih dekat ilmuwan kelahiran Tunisia yang banyak menghasilkan karya untuk rujukan umat Islam dan bangsa lain masa kini.
Dilahirkan di Tunisia, keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah Seville, Sepanyol, ketika dalam pemerintahan Islam.
Ketika zaman kanak-kanak, beliau mempelajari al-Quran daripada orang tuanya sebelum melanjutkan pengajian ke peringkat tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Sepanyol.
Pada 1375, beliau berhijrah ke Granada, Sepanyol kerana mahu melarikan diri daripada kerajaan di Afrika Utara.
Bagaimanapun, keadaan politik Granada tidak stabil, lantas mendorong beliau untuk merantau ke Aljazair (bahagian utara Semenanjung Tanah Arab). Di sini, beliau tinggal di kampung kecil iaitu Qalat Ibnu Salama.
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Mukaddimah.
Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.
Kitab Mukaddimah menghuraikan beberapa peristiwa dalam kehidupan masyarakat, proses pembentukan negara, faktor kemajuan serta kemunduran, selain menerangkan beberapa perkara yang berkaitan bidang perniagaan, perindustrian dan pertanian.
Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan itu membolehkan beliau digelar sebagai Prolegomena atau pengenalan kepada pelbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan Barat.
Dalam pada itu, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya bagi memperbaiki kesilapan dalam kehidupan menjadikan karya beliau seumpama ensiklopedia yang mengisahkan pelbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.
Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun bukan hanya mencakupi kisah kehidupan masyarakat ketika itu, malah merangkumi sejarah umat terdahulu.
Selain sebagai ilmuwan dalam bidang sosial, Ibnu Khaldun, mampu mentadbir dengan baik apabila dilantik sebagai kadi ketika menetap di Mesir.
Kebijaksanaannya mendorong Sultan Burquq iaitu Sultan Mesir ketika itu memberi gelaran Waliyuddin kepada Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan dan terkenal kerana hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah.
Beliau membangunkan idea bahawa tugas kerajaan hanya terhad kepada mempertahankan rakyatnya daripada keganasan, melindungi harta persendirian, menghalang penipuan dalam perdagangan dan menguruskan penghasilan wang.
Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik bijaksana dengan perpaduan sosial dan kuasa tanpa paksaan.
Dari segi ekonomi, Ibn Khaldun memajukan teori nilai dan hubung kaitnya dengan tenaga buruh, memperkenalkan pembahagian tenaga kerja, menyokong pasaran terbuka, menyedari kesan dinamik permintaan dan bekalan ke atas harga dan keuntungan.
Beliau turut menyokong perdagangan bebas dengan orang asing, dan percaya kepada kebebasan memilih bagi membenarkan rakyat bekerja keras untuk diri mereka sendiri.
Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun turut diterjemah ke dalam kehidupan masyarakat moden yang mahu mengimbangi pembangunan fizikal dan spiritual seperti Malaysia yang sedang menuju status negara maju.
Secara teorinya, ilmu itu dikaitkan dengan soal manusia dalam masyarakat dan ahli sosiologi berharap ilmu berkenan dapat menjalinkan perpaduan serta membentuk penawar kepada krisis moral yang dihadapi masyarakat hari ini.
Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun
http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/tokoh-sosiologi-modern-ibnu-khaldun.html]
I. PENGANTAR Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.
Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.
II. ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
Asumsi Ontologis / Hakekat sesuatu
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
Asumsi Epistemologis / Memperoleh kebenaran
Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
Asumsi Hakekat Manusia
Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.
Asumsi Metodologis
Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.

TEORI FEMINISME (GENDER)

TEORI FEMINISME (GENDER)

1.        SEJARAH

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.

Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.

Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.

Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.

Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.

Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).

Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam The Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang

Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.

Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan gender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.

Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

2.        ALIRAN
a.    Feminisme Liberal

Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

b.   Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

c.    Feminisme Post Modern

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

d.   Feminisme Anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

e.    Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

f.     Feminisme Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

g.   Feminisme Post Colonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni atau bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

h.   Feminisme Nordic

Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal. Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.

3.      TOKOH DALAM FEMINISME (GENDER)
a.    Foucault

Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.

b.   Naffine (1997:69)

Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.

c.    Derrida (Derridean)

Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

4.      GENDER MENURUT ISLAM DALAM PERSPEKTIF KLASIK DAN MODERN

Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.


Berangkat dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran kehidupan mereka.

Kesadaran para shahabiyat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat terbangun dari pemahaman mereka tentang Syumuliyyatul Islam, sebagai buah dari proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban dunia.

Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat oleh kalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.

a.    Paradigma Islam dan Feminisme

Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.

b.   Metodologi Feminisme (Gender)

Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme. Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri.

Kelemahan lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan empirisme.

c.    Metodologi Islam

Jika feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi atas realitas seksual (patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post– strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).

Realitas kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.



Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at).

Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.

Dari kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam Islam. Namun kita dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.





5.        GENDER MENURUT HUBUNGAN INTERNASIONAL

Teori Feminisme dalam hubungan internasional dimulai dari adanya pemikiran bahwa hubungan internasional lebih banyak berbicara tentang ‘high politics’ (keamanan nasional, national interest) dan dalam konteks teknis (misalnya: keamanan berbicara mengenai senjata dan lain-lain. Hubungan Internasional juga hanya berbicara tentang perang (game theory, persenjataan). Selain itu, Ilmu Hubungan Internasional sangat male dominated. Akibatnya, konsep, concern, kepentingan yang ada hanya merefleksikan kepentingan pria. Feminisme mencoba menggugat bahwa sexual violance berdampingan dengan perang. Pergerakan Feminisme mulai terlihat pergerakan paling awal yang ditemui sejak abad ke-15 dan terlihat ketika Christine de Pizan menulis ketidakadilan yang dialami perempuan. Pada tahun 1800-an, terdapat pergerakan yang cukup signifikan dimana Susan dan Elizabeth telah memperjuangkan hak-hak politik, diantaranya hak untuk memilih. Pada tahun 1759-1797, feminis mulai menggunakan kata-kata “hak”. Saat itu, Mary Wollstonecraft, feminis pertama yang mengatakan adanya pembodohan terhadap perempuan yang disebabkan tradisi masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi. Tahun 1970-1980an: Wacana feminisme bermunculan di Amerika Latin, Asia, dan di negara-negara Dunia ketiga pada umumnya. Tahun 1960-1970an, feminis mulai membawa perubahan sosial yang luar biasa di dunia Barat dimana lahirnya undang-undang yang menguntungkan perempuan dan konsep patriarki yang mulai mengemuka. Pada abad ke-20 (1949): Lahir karya Simone de BeauvoirLe Deuxieme Sexe”, dan akhirnya ditemukan istilah kesetaraan.

6.        PENDEKATAN FEMINISME DALAM STUDI GENDER

Kritik para feminist terhadap sexism di dalam wacana dan praktek ilmu sosial menghasilkan beraneka macam formulasi. Tetapi secara umum terdapat tiga hal penting (Stanley dan Wise 1983:17, 1990:21). Pertama, pendekatan feminis di dalam riset ilmu sosial memfokuskan pada kelompok perempuan, riset harus dilakukan oleh peneliti perempuan yang feminis untuk para perempuan. Kedua, peneliti feminis melihat bahwa ada perbedaan pandangan antara metode-metode kiantitatif yang cenderung bersifat maskulin dan metode-metode kwalitatif yang dipakai feminis. Yang ketiga adalah bahwa penelitian feminis memang memiliki tujuan politis yakni untuk mengubah kehidupan kaum perempuan.

Nampaknya pendapat Stanley dan Wise di atas memang cukup meyakinkan karena kenyataannya memang banyak sekali peneliti feminis cenderung memilih kelompok perempuan sebagai obyek penelitian mereka. Kecenderungan ini bisa dipahami karena para peneliti feminis menganggap bahwa riset sosial dan budaya yang selama ini dilakukan oleh para peneliti pria cenderung memarginalkan peran perempuan. Sehingga mereka perlu melakukan suatu penelitian yang akan memperlihatkan kepada dunia tentang keberadaan perempuan.

Namun, pendekatan feminis yang menekankan pada penelitian tentang perempuan, untuk perempuan dan oleh perempuan (on, for and by women) tidak cukup memuaskan untuk mengangkat pentingnya isu perempuan di ranah penelitian ilmu sosial. Masih terlalu sedikit penelitian yang dilakukan perempuan tentang perempuan yang memberikan hasil positif bagi perempuan. Kebanyakan justru memberikan hasil yang sangat negatif bagi perempuan. Di bidang bahasa, misalnya, banyak orang, termasuk para ahli linguistik feminis, menyudutkan perempuan karena tergesa membuat kesimpulan bahwa praktek berbahasa perempuan tidak standard dan buruk. Seperti kita lihat dari hasil penelitian Lakoff (1975) dan Kramer (1977). Kedua ahli linguistik ini menyatakan bahwa praktek berbahasa laki-laki lebih efisien, otoritatif, serius, efektip, dan berwibawa. Ciri-ciri ini menunjukkan sisi positif dari bahasa laki-laki. Sedangkan praktek berbahasa perempuan dianggap sepele, ragu-ragu, hiper-sopan, atau euphemistik. Ternyata dalam proses penelitiannya kedua ahli linguistik ini telah menggunakan bahasa laki-laki sebagai norma atau standard untuk menilai praktek berbahasa perempuan. Karena bahasa laki-laki telah dijadikan ukuran yang baku, maka dengan sendirinya praktek berbahasa kelompok perempuan akan nampak seperti “deviasi” dari bahasa standard. Penelitian seperti dilakukan oleh Lakoff dan Kramer di atas dikiritik keras oleh Spender (1980). Spender menganggap bahwa penelitian semacam itu secara metodologis bias gender dan memarginalkan posisi perempuan.

Dari contoh penelitian kedua ahli linguistik di atas, kita bisa membuat kesimpulan bahwa penelitian tentang perempuan oleh peneliti perempuan tidak menjamin akan memberikan banyak manfaat bagi perempuan. Tetapi di sisi lain, bila penelitian yang dilakukan oleh perempuan memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan mungkin akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang selama ini terbungkam.

Ada satu contoh berbeda yakni penelitian feminis yang dilakukan oleh Dale Spender (1986) di bidang sastra. Spender melakukan penelitian tentang asal mula tradisi penulisan novel Inggris. Ia, seperti halnya kritikus sastra lainnya, berasumsi bahwa perintis novel Inggris adalah para pengarang laki-laki. Pada awal risetnya, Dale Spender dipengaruhi oleh anggapan bahwa sebelum Jane Austen tidak pernah ada novelis perempuan. Perlu diketahui bahwa sejarah tentang penulis novel Inggris banyak dipengaruhi oleh tulisan Ian Watt (1957), The Rise of the Novel. Watt hanya memfokuskan pengamatannya pada para penulis pria saja sehingga tradisi penulisan novel seolah-olah hanya dirintis oleh para penulis pria. Tidak mengherankan bahwa Dale Spenderpun juga memfokuskan penelitiannya kepada novel-novel yang ditulis perempuan sejak tahun 1800an, yakni ketika novel Sense and Sensibility (1811) ditulis. Namun ketika ia tengah menjalani proses penelitian, Spender berubah pikiran karena ia telah menemukan 100 novelis perempuan yang menulis karya jauh sebelum tahun 1800, tepatnya tahun 1600an. Karya-karya mereka tersisih tak dikenal. Penemuannya ini memberikan petunjuk bahwa kesuksesan Jane Austen tidak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi penulisan novel yang telah dirintis oleh para penulis perempuan jauh sebelum Jane Austen sendiri menulis karyanya.

Anehnya, keseratus penulis perempuan tersebut tidak dikanonisasi. Para penulis sejarah sastra ternyata telah menyingkirkan karya-karya para pelopor novel perempuan dalam buku sejarah sastra mereka. Tidak diketahui secara pasti alasan mereka mengapa jumlah novel yang sebegitu banyak disingkirkan. Padahal, berdasarkan penelusuran sejarah yang dilakukan Spender (1986) banyak dari karya-karya tersebut yang mendapatkan respon positif baik dari para pembacanya maupun dari kalangan intelektual.

Penelitian seperti yang dilakukan oleh Spender ini bagaikan membuka tabir dari sebuah realita, atau membongkar harta karun milik perempuan yang terkubut. Penelitian seperti ini sungguh sangat penting untuk melengkapi gap yang telah diciptakan oleh para peneliti terdahulu yang sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bias gender.

Ada beberapa sebab mengapa peneliti perempuan gagal menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi perempuan. Pertama, karena mereka masih memakai ukuran dan norma penelitian tradisional yang cenderung “sexis” atau bias gender. Kenyataan ini nampaknya cukup rasional karena guru dan supervisor mereka adalah para peneliti atau pakar laki-laki. Kedua, mereka belum mampu secara konsisten menggunakan perspektif perempuan dalam penelitiannya. Ketiga, dan yang paling penting, adalah bahwa mereka belum menyadari tentang perlunya seorang peneliti untuk mengambil “standpoint”, yang oleh Dorothy Smith disebut “the standpoint of women” (standpoin perempuan). (Smith 1987: 78-88).

Pendapat Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini didukung oleh banyak kalangan feminis. Mereka menganggap bahwa feminisme tidak hanya sekedar sebuah perspektif (cara memandang sesuatu), atau bahkan bukan sekedar sebuah epistemologi (cara mengetahui sesuatu), melainkan juga merupakan sebuah ontologi, yakni keberadaan seseorang di dunia ini. (Stanley 1990: 14; Weedon 1987).

The standpoint of women” diharapkan bisa sangat bermanfaat bagi para peneliti ilmu sosial agar mereka tidak terjebak pada kesimpulan-kesimpulan yang cenderung memarginalkan perempuan.



Standpoint perempuan tidak sekedar berkaitan dengan jenis kelamin peneliti (perempuan) tetapi lebih pada kemampuan peneliti untuk menyadari, memahami dan merasakan posisi perempuan di dalam wacana kehidupan sehari-hari.

Untuk menjelaskan tentang “The Standpoint Of Women”, Smith mengambil analogi dari konsep Hegel di dalam The Phenomenology of Mind, tentang hubungan antara kesadaran majikan dan tenaga kerja buruhnya. Seperti dijelaskan oleh Smith (1987:79), Hegel menganalisa bahwa di dalam hubungan antara majikan dan buruh, seorang majikan yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu tidak perlu membuat barang itu sendiri. Obyek yang dikehendaki telah disediakan oleh pembantu atau buruh yang digajinya. Dengan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh majikannya, buruh selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan majikannya. Jadi, di dalam hubungan antara buruh dan majikan, buruh tersebut bukan merupakan subyek yang memiliki otonomi. Di dalam kesadarannya, buruh hanya mengetahui keberadaan majikan, pelayanan yang ia berikan, serta kaitan antara majikan dan obyek yang dikehendaki majikannya. Sebaliknya, di dalam kesadaran majikan terdapat kesadaran tentang dirinya sebagai subyek, kemudian obyek yang diinginkannya, dan buruh yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi obyek yang dibutuhkannya tersebut.

Bilamana konsep Hegel tentang buruh dan majikan dipakai untuk menginterpretasi pandangan Marx tentang perbedaan antara basis ideologi kelas penguasa (the ruling class) dan basis kesadaran politis kelas buruh, makan akan diketemukan kemiripan antara kesadaran politis buruh dengan “standpoint of women”. Lebih jelasnya, Smith (1987: 79) menguraikan sebagai berikut:

Bentuk-bentuk kesadaran sosial kita telah diciptakan oleh laki-laki yang menduduki posisi di dalam organisasi extralocal kekuasaan. Diskursus, pola pikir, teori, dan sosiologi telah menganggap bahwa kondisi menguasai itu tidak ada. Jadi praktek riil yang membuat terjadinya tindakan menguasai itu tidak nampak. Perempuan berada di luar hubungan extralocal kekuasaan itu. Mereka, pada umumnya, berada dan berfungsi di dalam proses kerja yang menopang kekuasaan dan memiliki peran penting bagi kelangsungan kekuasaan itu.

            Dari sudut pandang yang berkuasa (sudut pandang patriarki), kegiatan riil sehari-hari, dan organisasi kerja keseharian yang menopang keberadaan kelas penguasa (patriarki) dan kekuasaannya tidak terlihat. Jadi dari sudut pandang patriarki, aktivitas sehari-hari perempuan yang menopang keberadaan seluruh sistem patriarki dianggap tidak perlu, tidak ada artinya, bahkan tidak ada. Padahal, posisi yang menyangkut hal-hal rutin seperti pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak merupakan posisi yang diduduki perempuan. Posisi ini menopang dan memungkinkan laki-laki menguasai dunia konseptual yang abstrak. Oleh karena itu, berdasarkan logika patriarki atau ilmu sosial tradisional, perempuan yang memasuki dunia konseptual seperti misalnya menjadi peneliti atau intelektual ilmu sosial harus melepaskan diri dari konteks yang berkaitan dengan semua hal yang dilakukannya sehari-hari.

Yang diusulkan oleh Smith (1987:84) adalah agar peneliti perempuan memiliki standpoint yang spesifik perempuan. Artinya, ia tidak boleh melepaskan diri dari locus kehidupannya sehari-hari. Sebagai peneliti feminis, ia harus menjadi subyek yang memiliki kesadaran ganda (bercabang). Di satu sisi ia memiliki kesadaran tentang dunia yang dialaminya (di dalam tubuhnya), dan di sisi lain ia juga memiliki kesadaran tentang dnia abstraksi yang berada di luar eksistensi dirinya. Konsep Dorothy Smith tentang standpoint perempuan yang cukup kompleks ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh Stanley (1990: 34) sebagai berikut:

Peneliti feminis harus selalu melihat perempuan sebagai pihak yang secara aktip ikut membentuk sekaligus menginterpretasi proses dan hubungan sosial yang ada di dalam realitas keseharian mereka.

Dengan kata lain, untuk memiliki standpoint yang sama dengan obyek yang diteliti, seorang peneliti feminis harus berada pada posisi yang sama kritisnya dengan mereka yang kehidupan sehari-harinya sedang diamat.
           
Namun, standpoint perempuan ini jangan disalahpahami sebagai perspektif atau pandangan hidup. Ia juga tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir suatu pengalaman tertentu. Standpoint perempuan adalah suatu metode yang ketika dipakai untuk mencari tahu tentang sesuatu hal akan memberikan ruang kepada subyek, yang selama ini ditiadakan, beserta pengalaman-pengalaman riilnya yang dianggap tidak pernah ada. Dengan metode ini subyek dan pengalaman-pengalaman itu diungkapkan dengan menghadirkan pelaku perempuan yang berbicara sendiri tentang pengalaman riil keseharian mereka.

Konsep Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini, walaupun cukup kompleks, mengawali diskusi yang hangat dan menarik untuk memulai pengembangan suatu epistemologi feminis yang unik (distinctive). Ini merupakan langkah maju untuk menindaklanjuti teori feminis yang semula hanya sekedar kritik terhadap ilmu sosial menjadi sebuah pemikiran tentang epistemologi feminis, yaitu sebuah teori tentang pengetahuan yang berbicara mengenai “siapa yang bisa menjadi peneliti”, “apa yang bisa diteliti”, “apa saja yang bisa membentuk pengetahuan”, dan “bagaimana seharusnya hubungan antara knowing (cara mengetahui) dan keberadaaan seseorang (Stanley 1990:26).