Powered By Blogger

Sabtu, 14 Januari 2012

PRADIGMA CINTA

PRADIGMA CINTA
Pendidikan harus mendasari jiwanya dengan cinta. Dasar cinta itu bukan mengharapkan pemberian dari pihak yang kita cintai, tetapi kita selalu berusaha untuk memberikan sesuatu kebutuhannya dan membahagiakan mereka. Cinta itu bukan take and give tetapi give and give. Seorang guru sebagai pelaku pendidikan harus menjadi pelayan terbaik bagi murid-muridnya. Karena salah satu komponen mencintai adalah melayani dan memberi.
Dulu penulis sering menyaksikan bagaimana guruuring-uringan kepada muridnya karena proses belajar mengajarnya diliputi dengan keriuhan dan kegaduhan siswa. Sehingga seorang guru bisa saja kecewa karena apa yang beliau sampaikan tidak diperhatikan. Guru tidak berfikir sebab apa murid itu memperhatikan dan sebab apa pula ia mengacuhkan keterangan guru. Dalam ilmu komunikasi selalu mengatakan bahwa seandainya seorang komunikator tidak diperhatikan oleh komunikan, maka bukan komunikan yang harus disalahkan, tetapi seorang komunikatorlah yang kurang kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran.
Kreatifitas penyampaian mata pelajaran telah banyak dicontohkan para penemu metode pengajaran. Diantaranya beberapa guru Taman Pendidikan Anak-anak di Jogjakarta yang banyak memakai metode mendongeng (telling story) dalam menyampaikan materi pelajaran, khususnya untuk pelajaran akhlaq dan tarikh. Mendongeng pun tidak hanya sekedar mendongeng. Tetapi ia harus memakai bahasa anak-anak yang jenaka, dan sering kali penuh ekspresi, karena yang dihadapi anak seusia Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar. Anak-anak tidak membutuhkan dongeng anda itu logis, tetapi mereka bisa menangkap kalau dongeng itu diekspresikan sesuai lakon dongengnya. Misalnya ia menceritakan tentang Halimatus Sa’diyah yang turun gunung pada ‘musim menyusu’ dengan kesengsaraan karena keledai yang dijadikan tumpangannya sangat lemah, maka pendongeng juga harus mengekspresikan bagaimana keledai berjalan dengan lemah dan sesekali pendongeng meringik ala keledai.
Pengalaman penulis yang mempraktekan ekspresi itu disambut tawa para santri yang belia. Sehingga mereka pun tak mau terhalang pandangan matanya kepada Ustadz si pendongen. Bahasa manusia adalah bukan bahasa lisan semata, tetapi semua bagian tubuh mempunyai bahasanya sendiri, sehingga kadang tanpa gerak lisanpun ekspresi tubuh bisa menyampaikan pesan kepada para audien. Anda pernah lihatkan bagaimana pementasan pantomin tanpa kata, tetapi bisa mengobral beratus makna kepada yang menyaksikannya?
Kunci untuk menyampaikan pelajaran dengan sukses adalah kita harus empati kepada si penerima pelajaran. Seandainya pendengar adalah anak-anak maka kita sebagai pengajar harus memakai bahasa anak-anak yang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar