Powered By Blogger

Jumat, 13 Januari 2012

ETIKA PROTESTAN (MAX WEBER)

1.        ETIKA PROTESTAN (MAX WEBER)
Weber dilahirkan di Erfurt 1864 sebagai anak tertua dari delapan orang bersaudara. Ayahnya seorang otoriter sedangkan ibunya adalah se­orang saleh yang teraniaya. Oleh karena itu, terjadi cekcok hebat antara Max Weber dengan a sehingga dia mengusir ayahnya. Ia  lebih  banyak dipengaruhi paman clan tantenya. Weber mengecap berbagai pendiclikan, antara lain ekonomi, sejarah, hukum, filosofi, dan teologi. Ia meraih gelar doktor dalam studi organisasi clagang Abad Pertengahan. la diangkat jadi guru besar dalam studi sejarah agraria Romawi di Berlin serta menjadi guru besar ekonomi di Freiburg 1894 clan 1896 di Heidelberg.
Meskipun Marx dan para pengikutnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setae berada di luar arus utama sosiologi Jerman, pada batas-batas tertentu arch perkembangan sosiologi Jerman awal dapat dikatakan berlawanan dengan teori Marxian.
Weber dan Marx. Albert Salomon, misalnya, menyatakan bahwa teori-teori awal sosiolog besar Jerman, Max Weber, berkembang "dalam perdebatan panjang dan melelahkan dengan hantu Marx" (1945: 596). Mungkin ini terlalu dibesar­besarkan, namun dalam banyak hal teori Marxian memang memainkan pecan negatif dalam teori Weberian. Namun, dalam hal lain, Weber justru bekerja di dalam tradisi Marxian, di mana dia mencoba "melengkapi" teori Marx. Selain itu juga, banyak pengaruh lain selain teori Marxian yang memasuki teori Weberian (Burger, 1976). Kita dapat mengklarifikasi sumber-sumber sosiologi Jerman yang memaparkan pandangan masing-masing tentang hubungan antara Marx dan We­ber (Antonio dan Glassman, 1985; Schroeter, 1985). Hams diingat bahwa Weber tidak terlalu terbiasa dengan karya Marx (yang sebagian besar belum diterbitkan sampai meninggalnya Weber) dan Weber lebih banyak menanggapi karya-karya kalangan Marxis daripada karya Marx sendiri (Antortio, 1985: 29; Turner, 1981: -20).
Dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan bahwa keteliteian yang khusus, perhi­tungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong oleh perkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke- 16 dan digerakkan oleh doktrin Calvinisme, yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya keper­cayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselama­tan dan keeclakaan. Selain itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti mi menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan kepani­kan tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorang tidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidup­an, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasi oleh disiplin clan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenang­senang, yang didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Weber etika kerja dari Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir memberikan days dorong psikolo­gis bagi rasionalisasi clan sebagai perangsang yang kuat da­lam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.
Hubungan antara semangat kapitalisme dan etika Pro­testan, oleh karena itu, memiliki kaitan konsistensi logic dan pengaruh motivasional yang bersifat menclukung secara timbal balik. Hubungan semacam itu disebut sebagai elec­tive affinity. Hubungan tersebut menghantarkan kapitalisme mentransformasi din dalam bentuk modern, yang berciri­kan: tata buku/akuntansi rasional, hukum rasional, teknik rasional (mekanisasi), clan massa buruh menerima upah di pasar bebas karena mereka perlu untuk memperoleh peng­hasilan
Weber memang cenderung memandang Mars dan kaum Marxis pada zamannya Sebagai determines ekonomi yang menawarkan teori sebab tunggal kehidupan sosial. Jade, teori Marxian mereka pandang sebagai teori yang hanya melacak se­luruh perkembangan historis ke dalam basis ekonomi dan melihat seluruh struktur dibangun di atas basis ekonomi saja. Meskipun tidak berlaku pada teori Marx sendiri (seperti akan kita baca pada Bab 2), ini merupakan pendapat sebagian besar pemikir Marxis yang lebih belakangan.
Salah satu contoh determinisme ekonomi yang tampaknya paling tidak disukai Weber adalah pandangan bahwa ide hanyalah refleksi dari kepentingan material (kbususnya ekonomi), bahwa kepentingan material menentukan ideologi. Dari sudut pandang ini, Weber dianggap telah "membalikkan Marx" (persis seperti Marx telah membalikkan Hegel). Alih-alih berfokus pada faktor ekonomi dan efeknya pada ide, Weber lebih mencurahkan perhatiannya pada ide dan efeknya bagi ekonomi. Ketimbang memandang ide sebagai refleksi sederhana dari faktor­faktor ekonomi, Weber memandang keduanya sebagai kekuatan otonom yang mampu memengaruhi dunia ekonomi. Weber sangat menaruh perhatian pada ma­salah gagasan-gagasan, terutama sistem gagasan keagamaan, dan dia secara khusus membahas dampak gagasan-gagasan keagamaan pada ekonomi. Dalam buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904-05/1958), ia memberikan per­hatian pada agama Protestan, terutama sebagai sistem ide, dan dampaknya terlhadap, kelahiran sistem gagasan lain, "semangat kapitalisme", dan pada akhirnya, dampak yang ditimbulkannya terhadap sistem ekonomi. Weber memiliki minas serupa terhadap agama-agama dunia lainnya, dengan melihat bagaimana sifat agama-aga­ma tersebut menghambat perkembangan kapitalisme pada masyarakat tempat aga­ma-agama tersebut tumbuh. Berdasarkan karya ini, beberapa orang ilmuan sampai pada kesimpulan bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan de­ngan gagasan Marx.
Pandangan kedua tentang hubungan Weber dengan Marx, sebagaimana dise­butkan pada bagian sebelumnya, adalah bahwa ia sebetulnya tidak berlawanan de­ngan Marx karena ia justru mencoba melengkapi perspektif teoretisnya. Dalam hal ini Weber dipandang lebih banyak bekerja di dalam tradisi Mandan daripada menentangnya. Karyanya tentang agama, yang ditafsirkan dari sudut pandang ini, adalah upaya untuk menunjukkan bahwa bukan hanya faktor materi yang meme­ngaruhi ide, namun ide juga memengaruhi struktur materi.
Contoh yang baik dari pandangan ini adalah bahwa Weber terhbat dalam proses melengkapi teori Mandan dalam teori stratifikasi. Dalam karyanya tentang stratifikasi, Marx memusatkan perhatiannya pada kelas sosial, yakni dimensi eko­nomi dari stratifikasi sosial. Meskipun Weber menerima and penting faktor ini, namun ia berpendapat bahwa dimensi-dimensi stratifikasi lain pun sama penting­nya. Menurut dia, pengertian stratifikasi sosial ini harus diperluas sehingga men­cakup stratifikasi yang didasarkan pada prestise (status) dan kekuasaan. Dimasuk­kannya dua dimensi ini tidak became penolakan atas Marx namun justru melengkapi gagasan-gagasannya.
Kedua pandangan yang disinggunk di atas mengakui arti penting teori Marxian bagi Weber. Kedua posisi tersebut sama-sama benar; di beberapa titik tertentu, We­ber memang menentang Marx, sementara itu di titik lain, ia memperluas gagasan Marx. Namun, pandangan ketiga dari masalah ini memberikan penjelasan yang le­bih baik perihal hubungan Marx dengan Weber. Pandangan yang terakhir ini, meman­dang Marx hanya sebagai salah satu faktor yang memengaruhi pemikiran Weber.
2.        PENGARUH- PENGARUH LAIN TERHADAP PEMIKIRAN WEBER
 Kita dapat meng- idetifikasi sumber-sumber teori Weberian termasuk sejarawan, filsuf, ekonom, dan teoretisi politik Jerman. Di antara pemikir yang paling menonjol pengaruhnya terhadap Weber adalah filsuf Immanuel Kant (1724-1804). Namun kita tidak boleh mengesampingkan dampak Friedrich Nietzsche (1844-1990) (Antonio, 2001) -khu­susnya penegasannya tentang pahlawan- terhadap karya Weber tentang kebutuhan individu untuk melawan dampak birokrasi dan struktur lain masyarakat modern.
Pengaruh Immanuel Kant terhadap Weber dan sosiologi Jerman pada umum­nya menunjukkan bahwa sosiologi Jerman dan Mar)dsme tumbuh dari akar-akar filosofis yang berlainan. seperti telah kita ketahui, adalah Hegel, bukan Kant, yang memberikan pengaruh filosofis penting pada teori Marxian. Kalau filsafat Hegel mendorong Marx dan kalangan Marxis lain untuk mencari hubungan, konflik, dan kontradiksi, maka filsafat Kantian paling tidak menggiring beberapa orang sosiolog Jerman untuk mengambil perspektif yang lebih statis. Bagi Kant, dunia tersusun dari sejumlah peristiwa membingungkan yang tidak dapat diketahui secara langsung. Dunia ini hanya dapat diketahui dengan proses pemikiran yang me­nyaring, memilih, dan mengategorikan peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh Kant, isi dunia nyata dibedakan dari bentuk yang digunakan untuk memahami isinya. Penekanan pada bentuk ini memberi karya-karya sosiolog dalam tradisi Kantian kualitas yang lebih statis bila dibandingkan dengan filsafat Marxis dalam. tradisi Hegelian.
Teori Weber. Kalau Karl Marx menawarkan teori tentang kapitalisme, maka karya Weber merupakan teori tentang proses rasionalisasi (Brubaker, 1984; Kal­berg, 1980, 1990, 1994). Weber tertan.k pada pertanyaan umum mengapa institusi di dunia Barat tumbuh begitu progresif ke arah rasional, sementara sejumlah ham­batan yang begitu kuat tampak mencegah perkembangan serupa di belahan dunia lain.
Meskipun rasionalitas digunakan dalam berbagai pengertian yang berlainan dalam karya Weber, yang menjadi minas kita dalam pembahasan ini adalah proses yang melibatkan salah satu dari empat tipe yang diidentifikasikan oleh Kalberg (1980, 1990, 1994; baca juga Brubaker, 1984; Levine, 1981a), yakni rasionalitas formal. Rasionalitas formal, sebagaimana yang dipahami Weber, meliputi perhatian pada aktor yang memilih sarana dan tujuan. Namun, dalam hal ini, pilihan tersebut dijadikan sebagai rujukan bagi aturan, regulasi, dan hukum yang berlaku secara universal. Pada gilirannya, rasionalitas formal ini berasal dari struktur yang ska­lanya lebih besar, khususnya birokrasi dan ekonomi. Weber mengembangkan teo­rinya dalam konteks banyaknya kajian perbandingan sejarah Barat, Cina, India, dan kawasan-kawasan lain di dunia. Dalam, studi-studi ini, ia berusaha mengurai­kan sejumlah faktor yang membantu mendorong atau merintangi perkembangan rasionalisasi.
Weber melihat birokrasi (dan proses historis birokratisasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi, namun kini rasionalisasi sangat tepat bila diilustrasikan oleh restoran cepat saji (Ritzer, 2000a). Secara formal, restoran cepat saji adalah sistem rasional di mana (pelayan dan pelanggan) digiring untuk mengupayakan sarana paling rasional dalam mencapai tujuan. Jendela drive-through, misalnya,  adalah sarana rasional di mana pelayan dapat menyuguhkan, dan pelanggan dapat meng­ambil, makanan secara cepat dan efisien. Kecepatan dan efisiensi ditunjukkan oleh restoran cepat saji dan aturan Berta regulasi yang menjalankannya.
Weber meletakkan pembahasan proses birokratisasi dalam, diskusi yang lebih luas tentang institusi politik. Ia membedakan tiga tipe sistem kekuasaan -tradisi­onal, karismatik, dan rasional-legal. Hanya di dunia Barat modern-lah otoritas rasional-legal dapat berkembang, dan hanya di dalam sistem tersebutlah orang dapat menemukan perkembangan menyeluruh birokrasi modern. Di belahan dunia lain, masyarakat tetap didominasi oleh sistem otoritas tradisional atau karismatik, yang secara umum menghambat perkembangan sistem otoritas rasional-legal dan birokrasi modern. Singkat kata, otoritas tradisional lahir dari sistem kepercayaan yang telah berlangsung lama. Contohnya adalah pemimpin yang berkuasa karena keluarga atau marganya selalu menjadi pemimpin kelompok tersebut. Pemimpin ,ka-rismati,k mengambil otoritasnya dari kemampuan atau sifatnya yang istimewa, atau hanya sekadar dari kepercayaan pengikutnya bahwa sang pemimpin memiliki keistimewaan. Meskipun kedua jenis otoritas ini penting secara historis, Weber percaya bahwa di Barat, clan pada hakikatnya di seluruh dunia, kecenderungan ini mengarah pada sistem otoritas rasional-legal. Dalam sistem seperti isu, otoritas berasal dari aturan yang diputuskan secara legal dan rasional. Jadi, pada hakikatnya presiders Amerika Serikat menclapatkan otoritasnya dari hukum masyarakat. Evo­lusi otoritas rasional-legal, dengan birokrasi yang menyertainya, hanyalah satu bagian dari argumen umum Weber tentang rasionalisasi dunia Barat.
Weber juga melakukan analisis yang begitu terperinci dan cermat tentang rasionalisasi fenomena-fenomena seperti agama, hukum, kota, dan bahkan musik. Namun kita dapat mengilustrasikan cara berpikir Weber dengan sebuah contoh lain -rasionalisasi institusi ekonomi. Pembahasan ini diletakkan pada analisis We­ber yang lebih luas tentang hubungan agama dengan kapitalisme. Dalam satu studi historisnya, Weber berusaha memahami mengapa sistem ekonomi rasional (ka­pitalisme) berkembang di Barat dan mengapa sistem ini gagal berkembang di be­lahan dunia lain. Weber sepakat dengan peran agama dalam proses ini. Di satu level, ia terlibat dalam dialog dengan pars Marxis dalam menunjukkan bahwa, berlawanan dengan yang diyakini sebagian besar kaum Marxis hari ini, agama bukanlah sekadar epifenomena. Namun, agama memainkan peran kunci dalam lahirnya kapitalisme di Barat dan dalam kegagalannya untuk berkembang di be­lahan dunia lain. Weber berpendapat bahwa adalah sistem agama rasional (Cal­vinisme) yang memainkan peran sentral dalam, lahirnya kapitalisme di Barat. Se­baliknya, di belahan dunia lain yang ia kaji, Weber menemukan sistem agama yang lebih irasional (misalnya, Konfusianisme, Taoisme, Hinduisme), yang merintangi berkembangnya sistem ekonomi rasional. Namun, pada akhimya orang merasa bahwa agama-agama ini hanya menjadi kendala sesaat, karena sistem ekonomi -dan seluruh sistem sosial- masyarakat-masyarakat ini pada akhirnya akan terasional­kan.
Meskipun rasionalisasi ada di pusat teori Weberian, namun ini sama sekali tidak berlaku bagi teorinya. Sekarang belum saatnya untuk membahas lebih dalam masalah ini. Kita lebih balk kembali lagi ke perkembangan teori sosiologi. Isu kunci dalam perkembangan ini adalah: Mengapa teori Weber terbukti lebih me­narik perhatian para. teoretisi sosiologi akhir-akhir-akhir ini dibandingkan dengan teori Mandan?


3.        PENERIMAAN ATAS TEORI WEBER
Alasannya adalah bahwa Weber terbukti lebih dapat diterima secara politis. Alih-alih mengambil radikalisme Marxian, We­ber lebih bersikap liberal terkait dengan sejumlah isu dan lebih konservatif untuk isu lain (misalnya, peran negara). Meskipun ia adalah seorang pengkritik berbagai sisi masyarakat kapitalis modern dan sampai pada kesimpulan kritis yang sama dengan Marx, ia bukanlah orang yang mengusulkan solusi radikal atas sejumlah masalah (Heins, 1993). Sebaliknya, ia merasa bahwa reformasi radikal yang dita­warkan oleh kalangan Marxis dan sosialis lain akan lebih banyak mendatangkan mudarat daripada kebaikan.
Para teoretisi sosiologi akhir-akhir ini, khususnya di Amerika, melihat ma­syarakat mereka diserang oleh teori Marxian. Karena sebagian besar berorientasi konservatif, mereka berusaha membangun alternatif teoretis bagi Marxisme. Salah seorang yang terbukti memiliki daya tarik adalah Max Weber. (Durkheim dan Vilfredo Pareto adalah dua orang lainnya). Sebenarnya, rasionalisasi tidak hanya memengaruhi kapitalis namun juga masyarakat sosialis. Memang, dari sudut pan­dang Weber, rasionalisasi menimbulkan lebih banyak masalah di masyarakat sosi­alis daripada di masyarakat kapitalis.
Weber lebih dipilih juga karena caranya menyajikan penilaian. Ia mengha­biskar, sebagian besar hidupnya dengan melakukan kajian sejarah terperinci, dan kesimpulan politisnya sexing kah dibuat berdasarkan konteks penelitiannya. Jadi, kesimpulan-kesimpulan tersebut terkesan ilmiah dan akademis. Marx, meskipun banyak melakukan penelitian serius, juga banyak menulis bahan-bahan yang jelas polemis. Bahkan karyanya yang lebih akademis sarat dengan penilaian politis. Sebagai contoh, dalam buku Capital (1867/1967), ia menggambarkan kapitalis se­bagai "pengisap darah" dan "serigala jadi-jadian". Gaya Weber yang lebih akademis menyebabkan ia lebih diterima oleh para sosiolog di kemudian hari.
Alasan lain dari lebih diterimanya. Weber adalah bahwa ia bergerak di atas tradisi filosofis yang juga membantu membentuk karya sosiolog-sosiolog lain di kemudian hari. Jadi, Weber bergerak di atas tradisi Kantian, dan itu berarti ia cenderung berpikir dengan model sebab-akibat. Cara berpikir semacam ini lebih diterima oleh para sosiolog di kemudian hari, yang sebagian besar tidak terbiasa dan merasa tidak cocok dengan logika dialektis yang memengaruhi karya Marx.
Akhirnya, Weber menawarkan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap dunia sosial ketimbang Marx. Kalau Marx hampir secara keseluruhan mendalami ekonomi, Weber tertarik pada berbagai fenomena sosial. Keragaman fokus ini tampaknya memberikan lebih banyak bahan bagi para sosiolog di kemudian hari, bila dibandingkan dengan perhatian Marx yang lebih berkacamata tunggal.
Weber menghasilkan karya-karyanya pada akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an. Karier awal Weber membuatnya lebih diidentikkan Sebagai seja­rawan yang memberikan perhatian pada isu-isu sosiologi, namun pada awal tahun A900-an fokusnya semakin mengarah ke isu sosiologi. Pada zamannya, ia memang menjadi sosiolog dominan di Jerman. Pada tahun 1910, ia membangun Masyarakat Sosiologi Jerman (di antaranya bersama dengan Georg Simmel, yang akan kita diskusikan di bawah ini) (Glatzer, 1998). Rumahnya di Heidelberg adalah pusat intelektual tidak hanya bagi sosiolog namun juga bagi para ilmuwan dari berbagai bidang. Meskipun karyanya memang berpengaruh lugs di Jerman, karyanya jauh lebih terasa di Amerika Serikat, khususnya setelah Talcott Parsons memperkenal­kan gagasan-gagasan Weber (dan teoretisi Eropa lainnya, khususnya Durkheim) kepada audien Amerika. Kalau gagasan-gagasan Marx tidak membawa dampak signifikan bagi para teoretisi sosiologi Amerika sampai dengan tahun 1960-an, maka Weber telah begitu berpengaruh pada akhir 1930-an.
Teori Weber mem­persoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Max Weber adalah sosiolog Jerman yang dianggap sebagai ba­pak sosiologi modern. Dia membahas bermacam gejala ke­masyarakatan, misalnya tentang perkembangan bangsa­bangsa di dunia, tentang kepemimpinan, tentang birokrasi, dan sebagainya. Salah satu topik yang penting bagi masa­lah pembangunan yang dibahas oleh Max Weber adalah tentang peran agama sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pembahasan ini diterbitkan dalam duo buah esei pada ta­hun 1904 dan 1905, yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Dalam bukunya Weber mencoba menjawab pertanyaan, mengapa beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat mengalami kemajuan ekonomi yang pesat di bawah sistem kapitalisme. Setelah melakukan analisis, Weber mencapai kesimpulan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah apa yang disebutnya sebagai Etika Protestan.
Etika Protestan lahir di Eropa melalui agama Protestan yang dikembangkan oleh Calvin. Di sini muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang itu sudah ditakdirkan sebelumnya untuk masuk ke surga atau neraka. Tetapi, orang yang bersangkutan tentu saja tidak mengetahuinya. Karena itu, mereka menjadi tidak tenang, menjadi cemas, karena ketidak-jelasan nasibnya ini.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah mereka akan masuk surga atau neraka adalah keberhasilan kerjanya di dunia yang sekarang ini. Kalau seseorang berhasil dalam kerjanya di dunia, hampir dapat dipastikan bahwa dia di­takdirkan untuk naik ke surga setelah dia coati nanti. Kalau kerjanya selalu gagal di dunia ini, hampir dapat dipastikan bahwa dia akan pergi ke neraka.
Adanya kepercayaan ini membuat orang-orang penganut agama Protestan Calvin bekerja keras untuk meraih sukses. Mereka bekerja tanpa pamrih; artinya mereka bekerja bu­kan untuk mencari kekayaan material, melainkan terutama untuk mengatasi kecemasannya.  Inilah yang disebut se­bagai Etika Protestan oleh Weber, yakni cara bekerja yang keras dan sungguh-sungguh, lepas dari imbalan material­nya. (Memang, orang ini kemudian menjadi kayo karena keberhasilannya, tetapi ini adalah produk sampingan yang tidak disengaja. Mereka bekerja keras sebagai pengabdian untuk agama mereka, bukan untuk mengumpulkan harta. Tetapi Weber sendiri mengakui bahwa hal ini kemudian berubah jadi sebaliknya.)
Etika Protestan inilah yang menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa. Calvinisme kemudian me­nyebar ke Amerika Serikat, dan di sang pun berkembang kapitalisme yang sukses.
Studi Weber ini merupakan salah satu studi pertama yang meneliti hubungan antara agama dan pertumbuhan ekonomi. Kalau agama kita perluas menjadi kebudayaan, studi Weber ini menjadi perangsang utama bagi munculnya studi tentang aspek kebudayaan terhadap pembangunan. Dalam melakukan penelitian tentang aspek kebudayaan ini, peran agama pun menjadi sangat penting sebagai salah satu nilai kemasyarakatan yang sangat berpengaruh ter­hadap warga masyarakat tersebut.
Sementara itu, istilah Etika Protestan menjadi sebuah konsep umum yang tidak dihubungkan lagi dengan agama Protestan itu sendiri. Etika Protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses. Dia bisa ada di luar agama Protestan, dapat menjelma menjadi nilai-nilai budaya di luar agama. Misalnya, salah seorang pengikut Weber di Amerika Serikat, Robert Bellah, melakukan penelitian pada agama Tokugawa d.i Jepang. Dalam bukunya yang terkenal, Tokugawa Religion, dia me­nyatakan bahwa apa yang disebut sebagai Etika Protestan itu juga ada pada agama Tokugawa. Karena itulah, Jepang berhasil membangun kapitalisme dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar